Edisi 12 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Muddatstsir Ayat 1-7 (Bagian 3)

By Redaksi 19 Nov 2024, 10:53:04 WIB Tafsir
Edisi 12 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Muddatstsir Ayat 1-7 (Bagian 3)

Kajian Tafsir Tartibun-Nuzul (Edisi 12)

Tafsir Surat Al-Muddatstsir (Bag. 3)

 

Baca Lainnya :

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ. وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ. وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ. وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ. وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ. وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ.

“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah.” (QS Al-Mudattsir: 1-7)

 

Penjelasan

1.  Kemudian Allah ta’ala berfirman,

 

وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ

 

“Dan Rabbmu, agungkanlah!).”

Huruf al-wâwu men-‘athf-kan kalimat dalam ayat ini dengan kalimat dalam ayat sebelumnya, “Qum fa andzir (Bangunlah, lalu berilah peringatan!).” Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk bertakbir kepada Allah ta’ala. Kata kabbir merupakan fi‘l al-amr (kata perintah) dari kata kabbara yang bermakna ‘azhzhim (agungkanlah). Demikian menurut banyak ahli tafsir.[1]

2.  Menurut Ibnu ‘Asyur, kata kabbir dimasuki huruf al-fâ` menunjukkan adanya syarat yang dihilangkan. Dengan demikian, kata kabbir merupakan jawaban darinya.

Syarat tersebut bersifat umum karena tidak ada dalil yang menunjukkan adanya syarat tertentu. Syarat yang diperkirakan tersebut adalah al-maf’ûl yang didahulukan sebab al-maf’ûl yang didahulukan kadang menempati kedudukan sebagai syarat.

Jadi kalimat aslinya diperkirakan, “Menjadi apa pun, agungkanlah Rabbmu.” Dengan demikian makna ayat ini adalah, “Janganlah berhenti menyatakan pengagungan kepada Allah ta’ala. dan menauhidkan-Nya dalam setiap waktu dan keadaan.” Ini termasuk al-îjâz atau peringkasan kalimat.[2]

3.  Hal senada juga dikemukakan oleh Syihabuddin al-Alusi.

 

والفاء هنا وفيما بعد لإفادة معنى الشرط فكأنه قيل وما كان، أي أي شيء حدث فلا تدع تكبيره عز وجل

 

Huruf at-tâ‘ tersebut memberikan makna syarat. Jadi seolah dikatakan, “Apa pun yang terjadi, jangan tinggalkan bertakbir kepada-Nya.”[3]

4.  Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, Allah ta’ala. berfirman,

 

وَرَبَّكَ يَامُحَمَّدُ فَعَظِّمْ بِعِبَادَتِهِ، وَالرُّغْبَةِ إِلَيْهِ فِي حَاجَاتِكَ دُوْنَ غَيْرِهِ مِنَ الْآلِهَةِ وَالْأَنْدَادِ.

 

“Kepada Rabbmu, wahai Muhammad, fa ‘azhzhim (agungkanlah) dengan penyembahan dan permohonan sungguh-sungguh kepada-Nya dalam segala keperluanmu tanpa menoleh sedikit pun kepada sesembahan dan tandingan-tandingan selain-Nya.”[4]

5.  Abu Bakar al-Jazairi berkata,

 

أي وربّك فعظمه تعظيماً يليق بجلاله وكماله فإِنه الأكبر الذي لا أكبر منه والعظيم الذي لا أعظم منه فأعلن عن ذلك بلسانك قائلا الله أكبر وبحالك فلا تذل إلا له ولا ترغب إلا فيه وكبره بأعمالك فلا تأت منها إلاّ ما أذن لك فيه أو أمرك به

 

“Agungkanlah Rabbmu dengan pengagungan yang sesuai dengan kemuliaan kesempurnaan-Nya. Karena Dialah Yang Maha Besar. Tidak ada yang lebih besar dari-Nya. Dia Yang Maha Agung. Tidak ada yang lebih agung dari-Nya. Oleh karena itu, umumkanlah hal itu melalui lisanmu dengan berkata, “AlLahu Akbar“ (Allah Maha Besar) dan perbuatanmu. Janganlah engkau menghinakan dirimu kecuali hanya kepada-Nya dan janganlah engkau mencintai kecuali karena-Nya. Agungkanlah Allah dengan segala perbuatanmu. Oleh karena itu, janganlah engkau melakukan sesuatu yang tidak diizinkan Allah atau Dia perintahkan kepadamu.”[5]

6.  Menurut Ibnu al-‘Arabi, at-takbîr adalah at-ta’zhîm (pengagungan). Artinya, mengingat Allah ta’ala dengan sifat-Nya yang paling agung dengan hati, memuji-Nya dengan lisan dengan puncak pujian serta ketundukan kepada-Nya dengan puncak ibadah, sebagaimana bersujud kepada-Nya dengan penuh kehinaan dan ketundukan.[6]

7.  Frasa Rabbaka (Rabbmu) berkedudukan sebagai al-maf’ûl (objek) dari fi’l (kata kerja perintah) kabbir (agungkanlah, besarkanlah). Kata itu didahulukan memberikan makna al-ikhtishâsh (pengkhususan). Artinya, janganlah kamu mengagungkan yang lainnya. Itu merupakan pembatasan secara khusus. Artinya, bukan patung-patung.[7]

8.  Kata takbir, yakni Allahu Akbar, diperintahkan dalam banyak ibadah, seperti dalam azan, ikamah, salat, Idulfitri, Iduladha, dan lain-lain. Bahkan dalam salat ia dijadikan sebagai pembukanya dan dibaca setiap memulai gerakan lainnya kecuali sesudah rukuk.  Wallaahu A’lam.

 

 

____________________________________

1.      Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 262; Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tan‘zîl, vol. 4, 362; Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 463

2.      Ibnu ‘Asyur,At-Tahrîr wa at-Tanwîr, vol. 29, 296

3.      Al-Alusi, Ruh al-Ma’ânî, vol. 15, 130

4.      Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl Al-Qur‘ân, vol. 23, 9

5.      Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 463

6.      Ibnu ‘Arabi, Ahkâm Al-Qur`ân, vol. 4, 339 7.        Ibnu ‘Asyur, At-Tahrîr wa at-Tanwîr, vol. 29, 294