- Edisi 8 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 15-19
- Edisi 7 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 11-14
- Edisi 5 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 6-7 (Bagian 2)
- Israel Kembali Membom 2 (dua) sekolah di Gaza. 80% Korban adalah Anak-anak
- Ibrah dari Dua Momen Bersejarah di Bulan Dzulhijjah
- Sayyidul Istighfar
- Karena Tak Miliki Visa Haji, Sebanyak 24 Jamaah Asal Indonesia Ditangkap Polisi Saudi
- Edisi 6 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 8-10
- Edisi 4 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 6-7 (Bagian 1)
- Raudhah, Taman dari Taman Surga di Masjid Nabawi
Edisi 4 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 6-7 (Bagian 1)
بسم الله الرحمن الرحيم
كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ
لَيَطْغَى. أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى.
Baca Lainnya :
- Edisi 3 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 1-5 (Bagian 2)0
- Edisi 2 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 1-5 (Bagian 1)0
“Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya
serba cukup”.
(QS
Al-‘Alaq (96) : 6-7)
Penjelasan Mufrodat
كَلَّا : harf
dengan fungsi untuk mencegah dan menegur, disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak
33 kali dan seluruhnya merupakan surat makkiyah.
لَيَطْغَى : lam
sebagai penegasan. Yathgo bermakna melampaui batas dalam permusuhan dan
kezaliman.
اسْتَغْنَى.
: Mengira dirinya tidak membutuhkan
bantuan siapapun, atau mengira dirinya kaya (al Tafsir al Hadis, Vol 1 :
319).
Penjelasan
1.
Ayat ke 6 sampai ayat terakhir surat Al-‘Alaq ini
turun di waktu dan tempat yang berbeda dengan ayat 1-5. Bahkan, jika mencermati
redaksi kalimatnya, ayat-ayat ini turun setelah dakwah terbuka, karena ayat ke
6 dan seterusnya berbicara tentang gangguan Abu Jahal yang dilakukan pada
Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Syekh Nawawi Banten (wafat 1316 H) menerangkan bahwa sababun nuzul
ayat 6 sampai akhir surat berkenaan dengan Abu Jahal, sebagaimana berikut:
رُوِيَ أَنَّ أَبَا جَهْلٍ قَالَ لِرَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أتزعم أن من استغنى طغى فاجعل لنا جبال
مكة فضة وذهبا لعلنا نأخذ منها فنطغى فندع ديننا ونتبع دينك، فنزل عليه جبريل عليه
السلام فقال: يا محمد إن شئت فعلنا ذلك، ثم إن لم يؤمنوا فعلنا بهم ما فعلنا
بأصحاب المائدة. فكف رسول الله صلّى الله عليه وسلّم عن الدعاء إبقاء عليهم
“Diriwayatkan bahwa Abu Jahal berkata kepada Rasulullah saw:
“Apakah kau mengira seorang yang berkecukupan itu melewati batas? Maka
jadikanlah bagi kami gunung-gunung Makkah itu emas, barangkali kami akan
mengambilnya kemudian kami melampaui batas, lalu kami meninggalkan agama kami,
dan kami akan mengikuti agamamu.” Lalu Jibril as turun dan berkata: “Ya
Muhammad, jika engkau menghendaki maka kami akan lakukan hal tersebut; namun
jika mereka tidak beriman, maka kami akan melakukan kepada mereka seperti yang
telah dilakukan kepada Ashab Maidah.” Lalu beliau menahan tawaran Jibril as itu
untuk menyelamatkan mereka." (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul
Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Surabaya, al-Hidayah], juz II, halaman 455)
2.
Ayat ke-6 dan ke-7 menjelaskan tentang
kesewang-wenangan manusia ketika ia merasa dirinya cukup. Hal ini dijelaskan
oleh Ibnu Katsir rahimahullaahu ta’ala,
يخبر تعالى عن الإنسان أنه ذو
فرح وأشر وبطر وطغيان إذا رأى نفسه قد
استغنى وكثر ماله
Allah ta’ala menceritakan perihal manusia, bahwa manusia itu adalah
makhluk yang mempunyai kesenangan, jahat, angkuh, dan melampaui batas apabila
ia melihat dirinya telah berkecukupan dan banyak hartanya. (Tafsir
Al Qur’an Al ‘Ahzhim, 7: 604)
Mengenai makna Thughyan, Al Qurthubi mengatakan,
والطغيان
: مجاوزة الحد في العصيان
Thugyan (layathgho) bermakna melampaui batas
dalam bermaksiat. (Tafsir Al Qurthubi, 10: 75)
Asy Syaukani rahimahullaahu ta’ala mengatakan,
أنه يجاوز الحد، ويستكبر عل ربه. وقيل: المراد بالإنسان
هنا أبو جهل،
Sesungguhnya manusia benar-benar telah
melampaui batas sehingga menjadi sombong atas Rabbnya. Ada
yang memaksudkan manusia dalam ayat ke-6 tersebut adalah Abu Jahl. (Lihat Fathul
Qodir, 5: 628).
Dari berbagai pendapat diambil kesimpulan bahwa
kesewenang-wenangan (thughyan) perlu diantisipasi karena berbahaya dan bisa
menimpa siapapun, tidak terbatas pada orang kaya, punya pengaruh, ataupun
kekuasaan.(Al Misbah, vol.15:403)
3.
Mengenai anggapan bahwa yang dimaksud secara
khusus tentang ayat yang kita kaji adalah Abu Jahl disanggah oleh Syekh
‘Utsaimin rahimahullaahu ta’ala. Beliau mengatakan,
ليس شخصًا معيَّنًا، بل
المراد الجنس؛ كلُّ إنسانٍ من بني آدم إذا رأى نفسَه استغنى فإنَّه يطغى؛ من
الطُّغيان وهو مجاوزة الحد، إذا رأى أنَّه استغنى عن رحمة الله طغى ولم يُبالِ،
إذا رأى أنَّه استغنى عن الله عز وجل في كَشْف الكُرُبات وحصول المطلوبات صار لا
يلتفت إلى الله ولا يبالي، إذا رأى أنَّه استغنى بالصحة نَسِيَ المرض، وإذا رأى
أنَّه استغنى بالشبع نَسِيَ الجوع، إذا رأى أنَّه استغنى بالكسوة نَسِيَ العُري
... وهكذا، فالإنسان من طبيعته الطُّغيان والتمرُّد متى رأى نفسَه في غِنًى، ولكن
هذا يخرج منه المؤمن؛ لأنَّ المؤمن لا يرى أنه استغنى عن الله طرفة عين، فهو
دائمًا مفتقرٌ إلى الله سبحانه وتعالى،