Edisi 4 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 6-7 (Bagian 1)

By Redaksi 03 Jun 2024, 09:44:15 WIB Tafsir
Edisi 4 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 6-7 (Bagian 1)

 

بسم الله الرحمن الرحيم

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى.

Baca Lainnya :

“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup”.

(QS Al-‘Alaq (96) : 6-7)

 

Penjelasan Mufrodat

كَلَّا : harf dengan fungsi untuk mencegah dan menegur, disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 33 kali dan seluruhnya merupakan surat makkiyah.

 

لَيَطْغَى : lam sebagai penegasan. Yathgo bermakna melampaui batas dalam permusuhan dan kezaliman.

 

اسْتَغْنَى. :  Mengira dirinya tidak membutuhkan bantuan siapapun, atau mengira dirinya kaya (al Tafsir al Hadis, Vol 1 : 319).

 

Penjelasan

1.   Ayat ke 6 sampai ayat terakhir surat Al-‘Alaq ini turun di waktu dan tempat yang berbeda dengan ayat 1-5. Bahkan, jika mencermati redaksi kalimatnya, ayat-ayat ini turun setelah dakwah terbuka, karena ayat ke 6 dan seterusnya berbicara tentang gangguan Abu Jahal yang dilakukan pada Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

 

Syekh Nawawi Banten (wafat 1316 H) menerangkan bahwa sababun nuzul ayat 6 sampai akhir surat berkenaan dengan Abu Jahal, sebagaimana berikut:

 

رُوِيَ أَنَّ أَبَا جَهْلٍ قَالَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أتزعم أن من استغنى طغى فاجعل لنا جبال مكة فضة وذهبا لعلنا نأخذ منها فنطغى فندع ديننا ونتبع دينك، فنزل عليه جبريل عليه السلام فقال: يا محمد إن شئت فعلنا ذلك، ثم إن لم يؤمنوا فعلنا بهم ما فعلنا بأصحاب المائدة. فكف رسول الله صلّى الله عليه وسلّم عن الدعاء إبقاء عليهم

“Diriwayatkan bahwa Abu Jahal berkata kepada Rasulullah saw: “Apakah kau mengira seorang yang berkecukupan itu melewati batas? Maka jadikanlah bagi kami gunung-gunung Makkah itu emas, barangkali kami akan mengambilnya kemudian kami melampaui batas, lalu kami meninggalkan agama kami, dan kami akan mengikuti agamamu.” Lalu Jibril as turun dan berkata: “Ya Muhammad, jika engkau menghendaki maka kami akan lakukan hal tersebut; namun jika mereka tidak beriman, maka kami akan melakukan kepada mereka seperti yang telah dilakukan kepada Ashab Maidah.” Lalu beliau menahan tawaran Jibril as itu untuk menyelamatkan mereka." (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Surabaya, al-Hidayah], juz II, halaman 455)

2.   Ayat ke-6 dan ke-7 menjelaskan tentang kesewang-wenangan manusia ketika ia merasa dirinya cukup. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullaahu ta’ala,

 

يخبر تعالى عن الإنسان أنه ذو فرح وأشر وبطر وطغيان إذا رأى نفسه قد استغنى وكثر ماله

Allah ta’ala menceritakan perihal manusia, bahwa manusia itu adalah makhluk yang mempunyai kesenangan, jahat, angkuh, dan melampaui batas apabila ia melihat dirinya telah berkecukupan dan banyak hartanya. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Ahzhim, 7: 604)

 

Mengenai makna Thughyan, Al Qurthubi mengatakan,

 

والطغيان : مجاوزة الحد في العصيان

Thugyan (layathgho) bermakna melampaui batas dalam bermaksiat. (Tafsir Al Qurthubi, 10: 75)

 

Asy Syaukani rahimahullaahu ta’ala mengatakan,

 

أنه يجاوز الحد، ويستكبر عل ربه. وقيل: المراد بالإنسان هنا أبو جهل،

Sesungguhnya manusia benar-benar telah melampaui batas sehingga menjadi sombong atas Rabbnya. Ada yang memaksudkan manusia dalam ayat ke-6 tersebut adalah Abu Jahl. (Lihat Fathul Qodir, 5: 628).

 

Dari berbagai pendapat diambil kesimpulan bahwa kesewenang-wenangan (thughyan) perlu diantisipasi karena berbahaya dan bisa menimpa siapapun, tidak terbatas pada orang kaya, punya pengaruh, ataupun kekuasaan.(Al Misbah, vol.15:403)

3.   Mengenai anggapan bahwa yang dimaksud secara khusus tentang ayat yang kita kaji adalah Abu Jahl disanggah oleh Syekh ‘Utsaimin rahimahullaahu ta’ala. Beliau mengatakan,

 

ليس شخصًا معيَّنًا، بل المراد الجنس؛ كلُّ إنسانٍ من بني آدم إذا رأى نفسَه استغنى فإنَّه يطغى؛ من الطُّغيان وهو مجاوزة الحد، إذا رأى أنَّه استغنى عن رحمة الله طغى ولم يُبالِ، إذا رأى أنَّه استغنى عن الله عز وجل في كَشْف الكُرُبات وحصول المطلوبات صار لا يلتفت إلى الله ولا يبالي، إذا رأى أنَّه استغنى بالصحة نَسِيَ المرض، وإذا رأى أنَّه استغنى بالشبع نَسِيَ الجوع، إذا رأى أنَّه استغنى بالكسوة نَسِيَ العُري ... وهكذا، فالإنسان من طبيعته الطُّغيان والتمرُّد متى رأى نفسَه في غِنًى، ولكن هذا يخرج منه المؤمن؛ لأنَّ المؤمن لا يرى أنه استغنى عن الله طرفة عين، فهو دائمًا مفتقرٌ إلى الله سبحانه وتعالى، “Manusia (yang dimaksud dalam ayat ke-6) bukanlah person tertentu. Bahkan yang dimaksud adalah jenis manusia. Setiap orang yang merasa karena dirinyalah sebab segala-galanya, dialah yang dikatakan melampaui batas. Thughyan yang dimaksud dalam ayat adalah melampaui batas. Jika seseorang merasa diri sudah cukup dan tidak butuh pada rahmat Allah, dialah orang yang sombong atau melampaui batas. Jika ia tidak merasa butuh lagi pada Allah dalam menghilangkan kesulitan, itulah yang dikatakan sombong. Jika seseorang merasa dirinya cukup dengan sehat yang ia miliki, maka ia lupa dulu pernah sakit. Jika ia merasa kenyang dengan sendirinya, maka ia lupa dulu pernah lapar. Jika ia merasa sudah cukup dengan menutupi diri dengan pakaian yang ia miliki, maka ia lupa jika dulu ia pernah tidak memiliki apa-apa untuk berpakaian. Jadi di antara sikap sombong manusia adalah ia merasa dirinya-lah sebab segala-galanya, bukan dari Allah. Namun orang mukmin berbeda dengan kondisi tadi. Orang mukmin selalu butuh pada Allah. Ia tidak pernah lepas dari kebutuhan pada-Nya walau sekejap mata. Ia benar-benar setiap waktu terus butuh pada Allah.” (Tafsir Al Qur’an Al Karim – Juz ‘Amma, hal. 264).