Edisi 7 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 11-14

By Redaksi 08 Agu 2024, 14:24:40 WIB Tafsir
Edisi 7 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 11-14

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى. أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى. أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى. أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى. كَلَّا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعَنْ بِالنَّاصِيَةِ. نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ. فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ. سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ. كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ.

“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika mengerjakan shalat, bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran, atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)? Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya? Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya. (Yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah. Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Rabbmu).” (QS Al ‘Alaq: 11-14)

Baca Lainnya :

 

Penjelasan

أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى. أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى.

Ahmad Musthafa Al-Maraghi rahimahullaahu ta’ala menjelaskan,

أَيْ أَخْبِرْنِىْ عَنْ حَالِ ذلِكَ الطَّاغِيَةِ لَوْ تَخَلَّقَ بِأَخْلَاقِ الْمُصْلِحِيْنَ، وَدَعَا إِلَى الْبِرِّ وَتَقْوَى اللهِ، أَمَا كَانَ ذلِكَ خَيْرًا لَهُ مِنَ الْكُفْرِ بِهِ وَالنَّهْىِ عَنْ طَاعَتِهِ، فَإِنَّ ذلِكَ يُفَوِّتُ عَلَيْهِ أَعْلَى الْمَرَاتِبِ، وَيَجْعَلُهُ فِى أَحَطِّ الدَّرَكَاتِ وَأَدْنَاهَا. وَالْخُلَاصَةُ - أَمَّا كَانَ الْأَفْضَلُ لَهُ أَنْ يَهْتَدِىْ وَيَهْدِىْ غَيْرَهُ إِلَى خِصَالِ الْبِرِّ وَالْخَيَرِ، وَقَدْ كَانَتْ هذِهِ حَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَمِلَهُ كَانَ إِمَّا فِى إِصْلَاحِ نَفْسِهِ بِالْعِبَادَاتِ مِنْ صَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَغَيْرِهِمَا، وَإِمَّا فِى إِصْلَاحِ غَيْرِهِ بِأَمْرِهِ بِالتَّقْوَى وَدُعَائِهِ إِلَيْهَا.

Ceritakanlah kepada-Ku tentang keadaan orang yang melampaui batas itu? Jika ia menghiasi dirinya dengan pekerti yang saleh, mengajak pada kebaikan dan taqwa kepada Allah, bukankah hal itu lebih baik baginya daripada kekufuran dan melarang orang lain berlaku taat kepada-Nya. Sesungguhnya hal itu menghilangkan kesempatan untuk memperoleh derajat yang tinggi. Dan kini ia lebih suka memilih derajat yang paling rendah dan hina.

Kesimpulannya, bukankah lebih baik baginya jika ia mencari petunjuk orang lain kepada pekerti yang baik dan terpuji? Demikianlah perilaku Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ia memperbaiki dirinya dengan melakukan berbagai ibadah, seperti shalat, shaum, dan sebagainya. Namun pada saat yang lain beliau memperbaiki orang lain dengan perintah dan ajakan taqwa. (Tafsir Al-Maraaghy XXX : 203)

 

أَيْ : فَمَا ظَنُّكَ إِنْ كَانَ هذَا الَّذِيْ تَنْهَاهُ عَلَى الطَّرِيْقِ الْمُسْتَقِيْمَةِ فِيْ فِعْلِهِ،

Bagaimana pendapatmu jika orang yang kamu larang itu berada di jalan yang lurus dalam sepak terjangnya

 

بِقَوْلِهِ، وَأَنْتَ تَزْجِرُهُ وَتَتَوَعَّدُهُ عَلَى صَلَاتِهِ

Melalui ucapannya, sedangkan engkau menghardiknya dan mengancamnya bila ia mengerjakan shalatnya. (Ibnu Katsir, VIII : 438)

 

أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى.

أَيْ أَنْبِئْنِى عَنْ حَالِ هذَا الْكَافِرِ، إِنْ كَذَّبَ بِدَلَائِلِ التَّوْحِيْدِ الظَّاهِرَةِ. وَأَمَارَاتِ الْقُدْرَةِ الْبَاهِرَةِ، وَأَعْرَضَ عَنْ دَعْوَتِكَ وَالِاسْتِمَاعِ لِهَدْيِكَ، وَدَعَا النَّاسَ إِلَى مِثْلِ ذلِكَ أَفَلَا يَخْشَى أَنْ تُحِلَّ بِهِ قَارِعَةٌ، وَيُصِيْبُهُ مِنْ عَذَابِ اللهِ مَالَا قَبْلَ لَهُ بِاحْتِمَالِهِ؟ أَلَا عَقْلَ لَهُ يُرْشِدُهُ إِلَى أَنَّ خَالِقَ هذَا الْكَوْنِ مُطَّلِعَ عَلَى عَمَلِهِ، وَأَنَّهُ حَكِيْمٌ لَايُهْمِلُ عِقَابَهُ، وَأَنَّهُ سَيُؤَاخِذُهُ بِكُلِّ مَا اقْتَرَفَ مِنْ جُرْمٍ؟ وَلَا يَخْفَى مَا فِى هذَا مِنْ تَهْدِيْدٍ وَتَخْوِيْفٍ لِلْعُصَاةِ وَالْمُذْنِبِيْنَ.

Ceritakanlah kepada-Ku tentang keadaan si kafir itu? Sesungguhnya ia mengingkari bukti-bukti ketauhidan yang telah jelas dan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang nyata serta perpaling dari ajakanmu dan tidak mau mendengarkan petunjukmu. Bahkan ia mengajak orang lain berbuat seperti dirinya. Tidaklah ia merasa takut kepada hari kiamat, yaitu hari di saat itu ia tidak akan mampu menahan siksaan-Nya? Tidaklah ia memiliki akal yang menunjukinya bahwa pencipta alam semesta ini memonitor segala tingkah lakunya? Dan bahwa Dia adalah hakim yang tidak akan melupakan akan siksaan-Nya kepadanya? Dia pasti akan menghukum si kafir sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Dalam ayat tadi jelas terkandung ancaman dan peringatan bagi mereka yang melakukan ma’shiyat dan berbuat dosa. (Tafsir Al-Maraaghy XXX : 204)

 

Abu Jahal mendustakan risalah yang dibawa oleh Rasulullaah bukan karena meragukan kebenarannya namun karena hasad yang ada dihatinya.

 

Abu Jahal berkata,

 

تَنَازَعْنَا نَحْنُ وَبَنُو عَبْدِ مَنَافٍ الشَّرَفَ: أَطْعَمُوْا فَأَطْعَمَنَا وَحَمَلُوْا فَحَمَلْنَا، وَأَعْطَوْا فَأَعْطَيْنَا، حَتَّى إِذَا تَجَاثَيْنَا عَلَى الرُّكَبِ، وَكُنَّا كَفَرَسَيْ رِهَانٍ، قَالُوا: مِنَّا نَبِيٌّ يَأْتِيهِ الْوَحْيُ مِنَ السَّمَاءِ! فَمَتَى نُدْرِكُ هَذِهِ؟ وَاللَّهِ لَا نُؤْمِنُ بِهِ أَبَدًا وَلَا نُصَدِّقُهُ

“Kami -Bani Makzhum- bersaing dengan Bani Abdi Manaaf dalam meraih kemuliaan. Mereka (Bani Abdi Manaaf) memberi makan maka kami (Bani Makhzuum) juga memberi makan, mereka mengangkat kami juga mengangkat, mereka memberi maka kami juga memberi. Hingga tatkala kita (Bani Makhzuum dan Bani Abdi Manaaf) telah berimbang, dan kita telah setara dalam persaingan lantas mereka (Bani Abdi Manaaf) berkata, “Ada nabi dari kami yang wahyu dari langit telah turun kepadanya”, maka bagaimana kami bisa menyamai/menyaingi mereka (dalam hal ini)?. Demi Allah kami tidak akan beriman kepadanya selama-lamanya dan tidak akan membenarkannya” (Siroh Ibnu Hisyaam 1/276 dan Tafsir Ibnu Katsir 3/251-252, dengan riwayat yang mursal)

 

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى.

Berkenaan dengan ayat ke-14 surat Al-‘Alaq ini, Ibnu Katsir menjelaskan:

أَيْ: أَمَا عَلِمَ هذَا النَّاهِيْ لِهذَا الْمُهْتَدِيْ أَنَّ اللهَ يَرَاهُ وَيَسْمَعُ كَلَامَهُ، وَسَيُجَازِيْهِ عَلَى فِعْلِهِ أَتَمَّ الْجَزَاءِ.

Tidaklah orang yang melarang orang yang mendapatkan petunjuk itu mengetahui bahwa Allah melihatnya dan mendengar pembicaraannya, dan kelak Dia akan membalas perbuatannya itu dengan balasan yang sempurna. (Ibnu Katsir VIII : 438)