- Kegiatan Seru untuk Gantikan Waktu Bermain Game Anak
- Berita Pergerakan Hamas Terbaru: Apa yang Perlu Anda Ketahui
- Strategi Affiliate Marketing untuk Monetisasi Blog Anda
- Strategi Terbaik untuk Monetisasi Blog Anda
- Mainan Kreatif yang Mengasah Imajinasi Anak
- Membedah Keakuratan Data Quick Count Pilkada 2024
- Makanan Berserat Tinggi: Rekomendasi untuk Anak yang Susah Makan
- Menulis untuk Kesehatan Mental
- Review: Minuman Herbal untuk Menjaga Kesehatan Tubuh
- Makanan Organik vs. Konvensional: Mana yang Terbaik?
Sunah-Sunah Hari Raya Idul Fitri
Menyambut Hari Raya, khususnya Hari Raya Idul Fitri
ada sunnah dan adabnya. Berikut ini beberapa ulasannya yang bisa kita amalkan.
1.
Disunnahkan untuk mandi sebelum berangkat shalat Idul Fithri
Baca Lainnya :
- Apa Tanda Malam Lailatul Qadar?0
- Dahsyatnya Kekuatan Sedekah0
- Ramadhan yang Membakar0
- Mensyukuri Usia dan Pahala Menjaga Kesehatan Badan0
- Peluang Taubat di Bulan Ramadhan0
Mandi
ketika itu disunnahkan. Yang menunjukkan anjuran ini adalah atsar dari sahabat
Nabi.
Dari
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
seseorang pernah bertanya pada ‘Ali mengenai mandi. ‘Ali menjawab, “Mandilah
setiap hari jika kamu mau.” Orang tadi berkata, “Bukan. Maksudku, manakah mandi
yang dianjurkan?” ‘Ali menjawab, “Mandi pada hari Jum’at, hari ‘Arafah, hari
Idul Adha dan Idul Fithri.” (HR. Al-Baihaqi, 3: 278. Syaikh Al-Albani
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
Lihat Al-Irwa’, 1: 177)
Ada
riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma sebagai
berikut.
عَنْ
نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ
قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
Dari
Nafi’, (ia berkata bahwa) ‘Abdullah bin ‘Umar biasa mandi di hari Idul Fithri
sebelum ia berangkat pagi-pagi ke tanah lapang. (HR. Malik dalam Al-Muwatho’ 426.
Imam Nawawi menyatakan bahwa atsar ini shahih)
Imam
Nawawi rahimahullah menyatakan
bahwa para ulama sepakat akan disunnahkannya mandi untuk shalat ‘ied.
Dikatakan
dianjurkan karena saat itu adalah berkumpungnya orang banyak sama halnya dengan
shalat Jum’at. Kalau shalat Jum’at dianjurkan mandi, maka shalat ‘ied pun sama.
2. Berhias diri dan
memakai pakaian yang terbaik
Ada
riwayat yang disebutkan dalam Bulughul Maram no. 533 diriwayatkan oleh Imam
Bukhari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam memiliki baju khusus di hari Jumat dan di
saat beliau menyambut tamu. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adab Al-Mufrad)
Ada
juga riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
ia berkata bahwa ‘Umar pernah mengambil jubah berbahan sutera yang dibeli di
pasar. Ketika ‘Umar mengambilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, Ibnu
‘Umar lantas berkata, “Wahai Rasulullah, belilah pakaian seperti ini lantas
kenakanlah agar engkau bisa berpenampilan bagus saat ‘ied dan menyambut tamu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam lantas berkata,
إِنَّمَا
هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ
“Pakaian
seperti ini membuat seseorang tidak mendapatkan bagian di akhirat.” (HR.
Bukhari, no. 948)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mempermasalahkan berpenampilan bagus di hari Idul Fithri. Yang jadi masalah
dalam cerita hadits di atas adalah jenis pakaian yang ‘Umar beli yang terbuat
dari sutera.
Ada
juga riwayat dari Jabir radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata,
كَانَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُبَّةٌ يَلْبَسُهَا لِلْعِيْدَيْنِ
وَيَوْمِ الجُمُعَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki
jubah khusus yang beliau gunakan untuk Idul Fithri dan Idul Adha, juga untuk
digunakan pada hari Jum’at.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya, 1765)
Diriwayatkan
pula dari Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma biasa
memakai pakaian terbaik di hari ‘ied.
Aturan
berpenampilan menawan di hari ‘ied berlaku bagi pria. Sedangkan bagi wanita,
lebih aman baginya untuk tidak menampakkan kecantikannya di hadapan laki-laki
lain. Kecantikan wanita hanya spesial untuk suami.
3.
Makan sebelum shalat Idul Fithri
Dari
‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى
يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ
أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan sebelumnya beliau
makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih
dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil
qurbannya.” (HR. Ahmad 5: 352. Syaikh Syu’aib
Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Untuk
shalat Idul Fithri disunnahkan untuk makan sebelum keluar rumah dikarenakan
adanya larangan berpuasa pada hari tersebut dan sebagai pertanda pula bahwa
hari tersebut tidak lagi berpuasa.
Ibnu
Hajar rahimahullah dalam Al-Fath (2:
446) menyatakan bahwa diperintahkan makan sebelum shalat Idul Fithri adalah
supaya tidak disangka lagi ada tambahan puasa. Juga maksudnya adalah dalam
rangka bersegera melakukan perintah Allah.
Dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ
حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ .. وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidaklah keluar pada hari Idul Fithri (ke tempat shalat, pen.) sampai
beliau makan beberapa kurma terlebih dahulu. Beliau memakannya dengan jumlah
yang ganjil.” (HR. Bukhari, no. 953)
Kalau
tidak mendapati kurma, boleh makan makanan halal lainnya.
4.
Bertakbir dari rumah menuju tempat shalat
Ketika
puasa Ramadhan telah sempurna, kita diperintahkan untuk mensyukurinya dengan
memperbanyak takbir. Allah Ta’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah:
185)
Dalam
suatu riwayat disebutkan,
كَانَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى
يَأْتِيَ المصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛
قَطَعَ التَّكْبِيْرَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
keluar hendak shalat pada hari raya Idul Fithri sambil bertakbir sampai di
lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak
dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/1/2. Hadits ini mursal dari Az-Zuhri namun
memiliki penguat yang sanadnya bersambung. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 171.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih)
Ibnu
Syihab Az-Zuhri menyatakan bahwa kaum muslimin ketika itu keluar dari rumah
mereka sambil bertakbir hingga imam hadir (untuk shalat ied, pen.)
Namun
kalau kita lihat dari keumuman ayat Surat Al-Baqarah ayat 185 yang menunjukkan
perintah bertakbir itu dimulai sejak bulan Ramadhan sudah berakhir, berarti
takbir Idul Fithri dimulai dari malam Idul Fithri hingga imam datang untuk
shalat ‘ied.
Takbir
yang diucapkan sebagaimana dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi
Syaibah, bahwasanya Ibnu Mas’ud bertakbir,
اللهُ
أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ
وَللهِ الحَمْدُ
Allahu
akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar. Allahu akbar walillahil
hamd. (artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang
berhak disembah selain Allah dan Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, segala
puji bagi-Nya).
Kalau
lafazh di atas takbir “Allahu Akbar” ditemukan sebanyak dua kali. Dalam riwayat
Ibnu Abi Syaibah pula disebutkan dengan sanad yang sama dengan penyebutan tiga
kali takbir. (Lihat Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no.
36442)
Artinya
di sini, dua atau tiga kali takbir sama-sama boleh.
Syaikhul
Islam menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar”, itu
juga diperbolehkan. (Majmu’ah Al-Fatawa,
24: 220)
Disyari’atkan
bertakbir dilakukan oleh setiap orang dengan menjaherkan (mengeraskan) bacaan
takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab. (Majmu’ah Al-Fatawa, 24: 220)
5.
Saling mengucapkan selamat (at-tahniah)
Termasuk
sunnah yang baik yang bisa dilakukan di hari Idul Fithri adalah saling
mengucapkan selamat. Selamat di sini baiknya dalam bentuk doa seperti dengan
ucapan “taqabbalallahu minna wa minkum” (semoga Allah menerima amalan kami dan
kalian). Ucapan seperti itu sudah dikenal di masa salaf dahulu.
فعن
جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك
Dari
Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa
dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul Adha, pen), satu sama lain saling
mengucapkan, “Taqabbalallahu minna wa minka (Semoga
Allah menerima amalku dan amal kalian).” Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa
sanad hadits ini hasan. (Fath Al-Bari,
2: 446)
Imam
Ahmad rahimahullah berkata,
وَلَا
بَأْسَ أَنْ يَقُولَ الرَّجُل لِلرَّجُلِ يَوْمَ الْعِيدِ : تَقَبَّلَ اللَّهُ
مِنَّا وَمِنْك
“Tidak
mengapa (artinya: boleh-boleh saja) satu sama lain di hari raya ‘ied
mengucapkan: Taqobbalallahu minna wa minka.” (Al-Mughni, 2: 250)
Namun
ucapan selamat di hari raya sebenarnya tidak diberi aturan ketat di dalam
syari’at kita. Ucapan apa pun yang diutarakan selama maknanya tidak keliru
asalnya bisa dipakai. Contoh ucapan di hari raya ‘ied:
·
‘Ied mubarak, semoga menjadi
‘ied yang penuh berkah.
·
Minal ‘aidin wal faizin,
semoga kembali dan meraih kemenangan.
·
Kullu ‘aamin wa antum bi
khair, moga di sepanjang tahun terus berada dalam kebaikan.
·
Selamat Idul Fithri 1445 H.
·
Sugeng Riyadi 1445 H (selamat
hari raya) dalam bahasa Jawa.
Ucapan selamat di atas biasa diucapkan oleh para
salaf setelah shalat ‘ied. Namun jika diucapkan sebelum shalat ‘ied pun
tidaklah bermasalah. (Lihat bahasan Fatwa Islam Web 187457)
6.
Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda
Dari
Jabir radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata,
عَنْ
جَابِرٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ
خَالَفَ الطَّرِيقَ
Dari
Jabir radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika berada di hari ied (ingin pergi ke
tempat shalat, pen.), beliau membedakan jalan antara pergi dan pulang. (HR.
Bukhari, no. 986)
Di
antara hikmah kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam membedakan antara jalan pergi dan pulang
adalah agar banyak bagian bumi yang menjadi saksi bagi kita ketika beramal.
Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَئِذٍ
تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا
“Pada hari itu bumi menceritakan
beritanya.” (QS. Al-Zalzalah : 4)
Rasul
lalu bertanya, “Apakah kalian tahu apa yang diceritakan oleh bumi?”
Para
sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
إِنَّ أَخْبَارَهَا أَنْ تَشْهَدَ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ
بِمَا عَمِلَ عَلَى ظَهْرِهَا أَنْ تَقُولَ عَمِلَ كَذَا وَكَذَا يَوْمَ كَذَا
وَكَذَا قَالَ فَهَذِهِ أَخْبَارُهَا
“Sesungguhnya yang diberitakan oleh
bumi adalah bumi jadi saksi terhadap semua perbuatan manusia, baik laki-laki
maupun perempuan yang telah mereka perbuat di muka bumi. Bumi itu akan berkata,
“Manusia telah berbuat begini dan begitu, pada hari ini dan hari itu.” Inilah
yang diberitakan oleh bumi. (HR. Tirmidzi no. 2429. Tirmidzi
mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa
sanad hadits ini dha’if.
Namun hadits ini punya penguat dalam Al-Kabir karya Ath-Thabrani 4596, sehingga
hadits ini dapat dikatakan hasan sebagaimana kesimpulan dari Syaikh Salim bin
‘Ied Al-Hilaliy dalam Bahjah An-Nazhirin,
1: 439)
Semoga
bermanfaat. Yuk amalkan!
Semoga hari ied kita penuh berkah, taqabbalallahu minna wa
minkum, kullu ‘aamin wa antum bi khair.
Sumber: rumaysho.com