Terbit

Terbenam

icon

Jalan Yang Allah Ridhoi

img
Nasihat Singkat
01 Maret 2024
Jalan yang Allah Ridhoi

Dalam kaidah ushul kamus Al-Munawwir, kata ridha ( رِضَا) berasal dari kata radhiya-yardha-ridwanan (رَضِيَ-يَرْضَي-رِضْوانًا) yang berarti senang, suka, rela, menyetujui, puas.

 

Pada dasarnya keridhaan itu merupakan sumber dari segala kenikmatan yang akan bermuara kepada kebahagiaan yang sejati (sebenarnya). Keridhaan yang dimaksud tentu saja bukan hanya sekedar mengejar impian kebahagiaan dan kesuksesan tentang dunia akan tetapi sejatinya keridhaan yang dimaksud adalah lebih mengutamakan mengejar kepentingan akhirat.

 

Jika kita memahami artikulasi kandungan Al-Qur’an secara keseluruhan sebagai ayat-ayat-Nya yang mulia dari mulai diturunkannya wahyu pertama surat Al-‘Alaq sebagai dasar kita berpikir & berpijak mengenai tentang :

Siapa tuhan yang menciptakan manusia..?

Dari apa kita diciptakan..?

Untuk apa kita diciptakan..?

Apa yang harus kita lakukan di dunia..?

 

Ada dua golongan manusia dalam hidupnya  sama-sama mengejar sebuah kepentingan:

1.    Manusia yang mencari keridhoan Allah (ukhrawi).

Dia akan selalu berusaha dengan segenap jiwa, raga dan harta bahkan nyawanya untuk taat dan patuh menjalankan segala perintah dan larangan Rabb-Nya. Walaupun dia harus berhadapan dengan situasi yang tidak menyenangkan, dijauhi keluarga dan teman-teman bahkan mungkin akan terusir dari zona nyaman.

 

2.    Manusia yang mencari keridhoan manusia (duniawi).

Dia akan selalu berusaha dengan segenap apa yang ada pada dirinya untuk mengikuti keinginan hawa nafsunya agar orang-orang memujinya dan memuliakannya, walaupun dia harus mengorbankan harga dirinya untuk mencapai tujuan dan kepuasan sesaat.

 

Rasulullah SAW menjelaskan bahwa orang yang mencari keridhoan Allah adalah orang yang paling merasakan kebahagiaan dan ketenteraman, serta paling jauh dari kesedihan, kemarahan dan kegelisahan.

 

Riho adalah salah satu penyebab utama, bagi kebahagiaan seorang mukmin di dunia dan akhirat, dan sebaliknya orang yang mencari keridhoan manusia (duniawi) adalah penyebab kesengsaaan di dunia dan akhirat.

 

 Dalam salah satu ayat Allah SWT berfirman :

 

اِنَّ الَّذِيْنَ لَا يَرْجُوْنَ لِقَاۤءَنَا وَرَضُوْا بِالْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَاطْمَـَٔنُّوْا بِهَا وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنْ اٰيٰتِنَا غٰفِلُوْنَۙ (٧)

اُولٰۤىِٕكَ مَأْوٰىهُمُ النَّارُ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ (٨)

“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan (kehidupan) itu, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami. Mereka itu tempatnya di neraka, karena apa yang telah mereka lakukan.” (Q.S. Yunus 10 : 7-8)

 

Kalimat radhuu bi al-hayah al-dunya (رَضُوْا بِالْحَيٰوةِ الدُّنْيَا) pada ayat di atas sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir al-Mishbah yakni berupa sifat seseorang yang puas terhadap kehidupan duniawi, sehingga seluruh waktunya dihabiskan untuk memperolehnya. Dengan kepuasan tersebut, seseorang tidak lagi memikirkan kehidupan akhirat.

 

Berbeda halnya dengan kaum mukmin yang menilai bahwa kehidupan duniawi bukanlah kehidupan yang sempurna. Dan bagi mereka yang beriman dan beramal sholeh karena hanya mengharapkan pertemuan dengan Rabb-Nya dan hanya mencari keridhoan-Nya semata, maka Allah akan memberikannya kenikmatan surga (QS. Yunus 10 : 9).

 

Rasulullah saw. sebagai manusia yang memiliki akhlak mulia seusai Allah SWT, mengajarkannya pada wahyu yang pertama QS. Al-‘Alaq QS. Secara basyariah (manusiawi) beliau mengalami fase dimana terjadinya gangguan psikologis karena dihadapkan kepada situasi demografis yang berbeda yang  bukan menjadi pilihannya ditengah-tengah masyarakat yang jahiliah (hubbud dunya).

 

Didalam QS. Ad-Dhuha ayat 1-11, diawali dengan tanda sumpah-Nya diwaktu dhuha sebagai awal perjanjian penting atas diri manusia yang dimuliakan sebelum diangkatnya beliau (Muhammad Saw) sebagai Rasul, bahwa Allah SWT memberitahukan tentang keberadaan-Nya yang tidak akan pernah meninggalkannya dan tidak akan pernah murka dan memarahinya.

 

Bahwa pada hakekatnya kemuliaan diri manusia bukan karena banyaknya harta kekayaan, tingginya jabatan dan tingginya ilmu pengetahuan serta banyaknya gelar yang disandang yang menjadi pujian dan sanjungan banyak orang. Akan tetapi hidup manusia yang mulia itu adalah ketika mereka hidup mengutamakan kepentingan akhirat daripada kepentingan duniawi.

 

Orang-orang yang mencari keridhoan Allah adalah mereka yang senantiasa ketika memilki ilmu yang tinggi (intelektual), maka keilmuannya digunakan untuk perjuangan menegakkan kalimat Allah (Dieul Islam).

 

Orang-orang yang mencari keridhoan Allah adalah mereka yang senantiasa ketika memiliki banyak harta (hartawan), maka harta kekayaannya digunakan untuk memfasilitasi orang-orang yang yatim, faqir & miskin bahkan semua orang, agar bisa sama-sama berada dalam keridhoan-Nya.

 

Maka hendaklah setiap orang memiliki semangat jihad yang tinggi agar nikmat Allah yang pertama dan paling utama (iman & islam) itu menjadi skala prioritas dalam kepentingan hidup manusia.

 

Itulah yang dimaksudkan bersyukur terhadap nikmat-Nya.

واما بنعمه رنك فحدث (ق س-الضحي ١١:٩٣)

Ada 3 pondasi penting dalam menjalankan keridhoan Allah agar bisa merasakan nikmat & lezatnya Iman :

1.    Allah sebagai Rabb (Tuhan-Nya)

2.    Islam sebagai aturan hidupnya (Ad-Dienul Islam)

3.    Muhammad Saw sebagai rasul-Nya (teladan hidupnya).

 

Seperti hadits  yang disampaikan dari ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 

ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً

“Akan merasakan kelezatan manisnya iman, Orang Yang Ridha Kepada Allah  sebagai Rabbnya dan Islam sebagai Dien-Nya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya”.

 

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan Ridha kepada Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan Dienul Islam, bahkan sifat ini merupakan pertanda benar dan sempurnanya keimanan seseorang.

 

Imam An-Nawawi rahimahullah, ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak menempuh selain jalan Ad-Dienul Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diragukan lagi bahwa siapa saja yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kelezatannya tersebut (secara nyata)”.

 

Dengan demikian, orang yang mencari keridhoan Allah hidupnya akan selalu berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Muhammad Saw.

 

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

 

يَّهۡدِىۡ بِهِ اللّٰهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضۡوَانَهٗ سُبُلَ السَّلٰمِ وَيُخۡرِجُهُمۡ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوۡرِ بِاِذۡنِهٖ وَيَهۡدِيۡهِمۡ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسۡتَقِيۡمٍ 

“Dengan Kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya, dan menunjukkan ke jalan yang lurus”. (QS. Al-Maidah Ayat 16)

 

(red).

quote
Barangsiapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.

- Hadits Rasulullah SAW

Komentar

Tuliskan komentar