Dalam kaidah ushul kamus
Al-Munawwir, kata ridha ( رِضَا) berasal dari kata radhiya-yardha-ridwanan (رَضِيَ-يَرْضَي-رِضْوانًا) yang berarti senang,
suka, rela, menyetujui, puas.
Pada dasarnya keridhaan itu
merupakan sumber dari segala kenikmatan yang akan bermuara kepada kebahagiaan
yang sejati (sebenarnya). Keridhaan yang dimaksud tentu saja bukan hanya
sekedar mengejar impian kebahagiaan dan kesuksesan tentang dunia akan tetapi
sejatinya keridhaan yang dimaksud adalah lebih mengutamakan mengejar
kepentingan akhirat.
Jika kita memahami
artikulasi kandungan Al-Qur’an secara keseluruhan sebagai ayat-ayat-Nya yang
mulia dari mulai diturunkannya wahyu pertama surat Al-‘Alaq sebagai dasar kita
berpikir & berpijak mengenai tentang :
Siapa tuhan yang
menciptakan manusia..?
Dari apa kita diciptakan..?
Untuk apa kita
diciptakan..?
Apa yang harus kita lakukan
di dunia..?
Ada dua golongan manusia
dalam hidupnya sama-sama mengejar sebuah kepentingan:
1. Manusia yang mencari
keridhoan Allah (ukhrawi).
Dia akan selalu berusaha dengan segenap jiwa, raga dan harta bahkan
nyawanya untuk taat dan patuh menjalankan segala perintah dan larangan
Rabb-Nya. Walaupun dia harus berhadapan dengan situasi yang tidak menyenangkan,
dijauhi keluarga dan teman-teman bahkan mungkin akan terusir dari zona nyaman.
2. Manusia yang mencari
keridhoan manusia (duniawi).
Dia akan selalu berusaha dengan segenap apa yang ada pada dirinya untuk
mengikuti keinginan hawa nafsunya agar orang-orang memujinya dan memuliakannya,
walaupun dia harus mengorbankan harga dirinya untuk mencapai tujuan dan
kepuasan sesaat.
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa orang yang mencari keridhoan Allah
adalah orang yang paling merasakan kebahagiaan dan ketenteraman, serta paling
jauh dari kesedihan, kemarahan dan kegelisahan.
Riḍho adalah salah satu penyebab utama, bagi
kebahagiaan seorang mukmin di dunia dan akhirat, dan sebaliknya orang yang
mencari keridhoan manusia (duniawi) adalah penyebab kesengsaaan di dunia dan
akhirat.
Dalam salah
satu ayat Allah SWT berfirman :
اِنَّ
الَّذِيْنَ لَا يَرْجُوْنَ لِقَاۤءَنَا وَرَضُوْا بِالْحَيٰوةِ الدُّنْيَا
وَاطْمَـَٔنُّوْا بِهَا وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنْ اٰيٰتِنَا غٰفِلُوْنَۙ (٧)
اُولٰۤىِٕكَ
مَأْوٰىهُمُ النَّارُ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ (٨)
“Sesungguhnya orang-orang
yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa
puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan (kehidupan) itu, dan
orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami. Mereka itu tempatnya di neraka,
karena apa yang telah mereka lakukan.” (Q.S. Yunus 10 : 7-8)
Kalimat radhuu bi
al-hayah al-dunya (رَضُوْا بِالْحَيٰوةِ الدُّنْيَا) pada ayat di atas sebagaimana
dijelaskan dalam Tafsir al-Mishbah yakni berupa sifat seseorang yang puas
terhadap kehidupan duniawi, sehingga seluruh waktunya dihabiskan untuk
memperolehnya. Dengan kepuasan tersebut, seseorang tidak lagi memikirkan
kehidupan akhirat.
Berbeda halnya dengan kaum
mukmin yang menilai bahwa kehidupan duniawi bukanlah kehidupan yang sempurna. Dan
bagi mereka yang beriman dan beramal sholeh karena hanya mengharapkan pertemuan
dengan Rabb-Nya dan hanya mencari keridhoan-Nya semata, maka Allah akan
memberikannya kenikmatan surga (QS. Yunus 10 : 9).
Rasulullah saw. sebagai
manusia yang memiliki akhlak mulia seusai Allah SWT, mengajarkannya pada wahyu
yang pertama QS. Al-‘Alaq QS. Secara basyariah (manusiawi) beliau mengalami
fase dimana terjadinya gangguan psikologis karena dihadapkan kepada situasi
demografis yang berbeda yang bukan menjadi pilihannya
ditengah-tengah masyarakat yang jahiliah (hubbud dunya).
Didalam QS. Ad-Dhuha ayat 1-11,
diawali dengan
tanda sumpah-Nya diwaktu dhuha sebagai awal perjanjian penting atas diri
manusia yang dimuliakan sebelum diangkatnya beliau (Muhammad Saw) sebagai
Rasul, bahwa Allah SWT memberitahukan tentang keberadaan-Nya yang tidak akan
pernah meninggalkannya dan tidak akan pernah murka dan memarahinya.
Bahwa pada hakekatnya
kemuliaan diri manusia bukan karena banyaknya harta kekayaan, tingginya jabatan
dan tingginya ilmu pengetahuan serta banyaknya gelar yang disandang yang
menjadi pujian dan sanjungan banyak orang. Akan tetapi hidup manusia yang mulia
itu adalah ketika mereka hidup mengutamakan kepentingan akhirat daripada
kepentingan duniawi.
Orang-orang yang mencari
keridhoan Allah adalah mereka yang senantiasa ketika memilki ilmu yang tinggi
(intelektual), maka keilmuannya digunakan untuk perjuangan menegakkan kalimat
Allah (Dieul Islam).
Orang-orang yang mencari
keridhoan Allah adalah mereka yang senantiasa ketika memiliki banyak harta
(hartawan), maka harta kekayaannya digunakan untuk memfasilitasi orang-orang
yang yatim, faqir & miskin bahkan semua orang, agar bisa sama-sama berada
dalam keridhoan-Nya.
Maka hendaklah setiap orang
memiliki semangat jihad yang tinggi agar nikmat Allah yang pertama dan paling
utama (iman & islam) itu menjadi skala prioritas dalam kepentingan hidup
manusia.
Itulah yang dimaksudkan
bersyukur terhadap nikmat-Nya.
واما بنعمه رنك
فحدث (ق س-الضحي ١١:٩٣)
Ada 3 pondasi penting dalam
menjalankan keridhoan Allah agar bisa merasakan nikmat & lezatnya Iman :
1. Allah sebagai Rabb
(Tuhan-Nya)
2. Islam sebagai aturan
hidupnya (Ad-Dienul Islam)
3. Muhammad Saw sebagai
rasul-Nya (teladan hidupnya).
Seperti
hadits yang disampaikan dari ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib
radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
ذَاقَ طَعْمَ
الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ
رَسُوْلاً
“Akan merasakan kelezatan
manisnya iman, Orang Yang Ridha Kepada Allah sebagai Rabbnya dan
Islam sebagai Dien-Nya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya”.
Hadits yang agung ini
menunjukkan besarnya keutamaan Ridha kepada Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan Dienul
Islam, bahkan sifat ini merupakan pertanda benar dan sempurnanya keimanan
seseorang.
Imam An-Nawawi
rahimahullah, ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Orang yang
tidak menghendaki selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak menempuh selain jalan
Ad-Dienul Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai
dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tidak diragukan lagi bahwa siapa saja yang memiliki sifat ini, maka niscaya
kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan
kelezatannya tersebut (secara nyata)”.
Dengan demikian, orang yang
mencari keridhoan Allah hidupnya akan selalu berpedoman kepada Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah Muhammad Saw.
Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
يَّهۡدِىۡ بِهِ
اللّٰهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضۡوَانَهٗ سُبُلَ السَّلٰمِ وَيُخۡرِجُهُمۡ مِّنَ الظُّلُمٰتِ
اِلَى النُّوۡرِ بِاِذۡنِهٖ وَيَهۡدِيۡهِمۡ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسۡتَقِيۡمٍ
“Dengan Kitab
itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke
jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu
dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya, dan menunjukkan ke jalan yang
lurus”. (QS. Al-Maidah
Ayat 16)
(red).
Komentar