- Strategi Affiliate Marketing untuk Monetisasi Blog Anda
- Strategi Terbaik untuk Monetisasi Blog Anda
- Mainan Kreatif yang Mengasah Imajinasi Anak
- Membedah Keakuratan Data Quick Count Pilkada 2024
- Makanan Berserat Tinggi: Rekomendasi untuk Anak yang Susah Makan
- Menulis untuk Kesehatan Mental
- Review: Minuman Herbal untuk Menjaga Kesehatan Tubuh
- Makanan Organik vs. Konvensional: Mana yang Terbaik?
- Cara Menggunakan Entitas untuk Meningkatkan Hasil Percakapan ChatGPT
- 3 TIPS & TRIK MENGHINDARI KONFLIK DALAM RUMAH TANGGA
Menuju Falah
![Menuju Falah](https://albashirah.com/asset/foto_berita/falah.png)
Kaum muslimin selalu
dianjurkan untuk meraih sukses, kemenangan dan keberuntungan. Lima kali sehari
semalam kita mendengar adzan berkumandang, yang menyeru kita agar meraih
kemenangan.
حَيَّ عَلى
الصلاة حيَّ على الفلاح
“mari kita
menegakkan shalat, mari kita meraih kemenangan!”
Baca Lainnya :
Tiga ayat dari surat
ali-Imran memberikan bimbingan kepada kita tentang langkah menuju al-Falah.
Kita perhatikan ayat 102:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إلاَّ
وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون
“Wahai orang yang beriman!
Bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Janganlah kamu
mati kecuali sebagai muslim”.
Ayat ini memanggil kita
agar berusaha manggapai takwa yang hakiki dan melarang mati kecuali dalam
keadaan muslim. Dengan demkian berdasar ayat ini langkah pertama menuju
al-falah ialah اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
Takwa ialah menjaga diri
dari hal-hal yang merugikan kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Menjaga diri dari
kerugian duniawi, dengan cara hidup sesuai sunnatullah yang tersurat dan
tersirat dalam kejadian alam. Sedangkan menjaga diri dari kerugian ukhrawi
caranya adalah hidup sesuai dengan syari’ah Allah, baik al-Qur’an maupun
as-Sunnah. Oleh karena itu takwa dari sudut ini mengandung arti imtitsalul-awamir
wajtinabun-Nawahi / امت ثلل اومر
وجتنبن نوح Disiplin mentaati aturan Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Melanggar sunnatullah,
berakibat penderitaan di dunia. Sedangkan melanggar syari’ah Allah akan
menjerumuskan penderitaan di akhirat. Bila melanggar kedua-duanya, bakal
menjerumuskan penderitaan dunia akhirat. Orang yang ingin bahagia dunia
akhirat, harus disiplin mentaati syari’ah Allah SWT, dan mengikuti sunnatullah.
Syari’ah dan sunnatullah itulah pedoman dan aturan hidup kita, yang menjamin bahagia
sepanjang masa.
Langkah yang kedua adalah وَلا تَمُوتُنَّ إلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ Jangan mati kecuali sebagai
muslim.
Larangan mati kecuali dalam
Islam, mengandung arti perintah mempertahankan Dien Islam sampai mati. Kita
muslimin yang ingin meraih kemenangan tidak rela mati kecuali karena membela
Dien Islam. Harta, tenaga, maupun fasilitas apapun tidak akan dikorbankan,
kalau bukan untuk Dien Islam. Kita sebagai muslim, rela berkorban, tapi tidak
akan rela jadi korban. Pengorbanan kita hanya untuk Dien Islam. Kita
berekonomi, demi Islam. Berbudaya demi Islam. Berorganisasi demi membela Dien
Islam. Berpolitik bahkan bernegara pun hanya untuk Islam. Dalam kehidupan
berpolitik, tidak pernah ada kawan yang abadi, dan tidak pernah ada lawan yang
abadi. Yang ada hanya kepentingan yang abadi. Kita sebagai muslim, kepentingan
yang abadi adalah Islam. Yang kita bela adalah yang benar menurut Islam. Bukan
yang benar menurut ormas, bukan menurut jam’iyah, bukan menurut kelompok atau
golongan. Oleh karena itu, seorang muslim, tidak ada istilah membela
mati-matian untuk kepentingan tokoh, kepentingan organisasi atau jam’iah. Yang
dibela mati-matian kita hanya Islam.
Inilah prinsip hidup وَلا تَمُوتُنَّ
إلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Langkah ketiga tersirat
pada firman Allah SWT وَاعتَصِمُوْا
بحبل الله جَمِيْعَا Berpegang teguh pada hablillah.
Hablillah ialah ikatan kita dengan
Allah SWT, berupa pedoman hidup yang mesti kita jalani. Hablillah adalah
al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Berpegang teguh pada tali Allah SWT
berarti menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai pedoman hidup dan sumber hukum,
serta menolak hukum dan aturan hidup yang tidak bersumber dari Allah.
Langkah keempat,
menghindari perpecahan:
ولا تفرقوا janganlah bercerai berai.
Kita menyadari bahwa di
dunia ini terdiri dari berbagai bangsa dan bahasa. Beragamnya bangsa dan
bahasa menimbulkan beranekanya keinginan, kebiasaan dan pandangan. Tentu saja
memunculkan perbedaan di berbagai bidang. Islam tidaklah menolak keragaman dan
perbedaan. Namun jika perbedaan tersebut menimbulkan perpecahan, akan berakibat
terpuruknya tatanan kehidupan. Karenanya keanekaragaman tersebut hendaklah
dijadikan ajang persaingan yang sehat, dan saling mengenal satu dengan yang
lainnya.
يايها الناس انا
خلقنكم من ذكر وانثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقكم ان
الله عليم خبير
“Hai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. 49 : 13)
Ayat ini menggariskan bahwa
manusia diciptakan Allah SWT beraneka ragam bangsa, kafilah, dan suku. Suatu
bangsa tidak diperkenankan merasa unggul melebihi bangsa lain. Satu golongan
tidak boleh merasa unggul di atas golongan lain. Satu jam’iyah tidak layak
merasa lebih benar, lebih hebat atau lebih tinggi di atas lainnya. Yang paling
mulia, paling unggul di sisi Allah, bukanlah ditentukan oleh ras, suku,
golongan atau kelompok, melainkan ditentukan oleh takwa. Sedangkan ketakwaan
seseorang sangatlah rahasia. Siapa pun tidak tahu, derajat ketakwaan seseorang,
selain Allah SWT.
Rasulullah SAW pernah
berisyarat tatkala mendapat pertanyaan tentang letaknya nilai takwa. Attaqwa
ha huna (sambil menunjukkan dadanya). Betapa rahasia nilai ketakwaan
manusia. Oleh karena itu tidak sepatutnya satu kelompok merasa lebih unggul di
banding lainnya.
Perbedaan pandangan atau
pendapat dalam memahami suatu persolan, termasuk memahami isi al-Qur’an dan
sunnah, merupakan kenyataan yang tidak dapat dihapuskan. Al-Qur’an dan sunnah
adalah kebenaran mutlak yang tidak boleh diragukan. Namun pemahaman
seseorang, terhadap keduanya itu tidak bisa dianggap mutlak. Sumbernya mutlak,
tapi pemahamannya relatif. Di antara faktor penyebab seringnya perpecahan adalah
menganggap mutlak pada yang relatif. Untuk itu jangan menganggap mutlak benar
pada pendapat orang, sekalipun dia seorang tokoh.
Kita tidak mungkin bisa
menyatukan pandangan atau pemahaman, sebab keanekaragaman tersebut merupakan
sunnatullah. Rasulullah SAW pernah berdo’a memohon kepada Allah untuk kesatuan
umatnya, tapi tak terkabulkan.
Hadist riwayat Imam Ahmad,
Nasa’i dan dianggap Shahih oleh Imam Hakim dan Ibnu Khuzaimah, menerangkan
bahwa Anas berkisah:
رَايْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرٍ صَلَّى سُبْحَة الضُّحَى ثَمَانِي
رَكَعَاتٍ فَلَمَّاانْصَرَفَ قَالَ { إِنِّي صَلَّيْتُ صَلاَةً رَغْبَةً
وَرُهْبَةً سَأَلْتُ رَبِّي ثَلاَثًا فَأَعْطَانِيْ اثْنَتَيْنِ وَمَنَعَنِي
وَاحِدَةً سَألْتُهُ ألاَّ يَبْتَلِيَ أُمَّتِي بِالسِّنِيْنَ فَفَعَلَ
وَسَأَلْتُهُ أَلاَّ بَظْهَرَ عَلَيْهِمْ عَدُوُّهُمْ فَفَعَلَ وَسَأَلْتُهُ
أَلاَّ يَلْبَسَهُمْ شِيَعًا فَأَبَى عَلَيَّ
“Saya melihat Rasulullah
pada satu peperangan di pagi hari melakukan shalat dhuha delapan rakaat setelah
selesai ia berkata: ‘Aku lakukan shalat dengan penuh harapan dan kecintaan,
lalu aku memohon kepada Allah tuhanku tentang tiga permintaan, namun hanya dua
yang Ia qabulkan. Aku mohon agar umatku tidak dilanda dengan kepedihan dan
kelaparan, Dia qabulkan. Aku mohon agar umatku, jangan dikalahkan musuh
Dia qabulkan. Namun aku memohon agar umatku berada pada satu golongan, satu
pendapat, maka Allah tidak mengabulkan’”. (Fiqh-Sunnah. I:177)
Hadits tersebut menunjukkan
bahwa Allah SWT tidak mengabulkan permohonan Rasul agar umatnya satu kesatuan.
Andaikata umat Islam itu hanya satu pendapat, sudah barang tentu
kemampuan berfikir umat Islam tidak akan berkembang. Dengan adanya perbedaan
pendapat, akan menimbulkan rasa penasaran bagi umat Islam untuk meninjau
kembali apa yang telah didapat. Dengan demikian akan lebih berusaha mencari
kebenaran. Itulah salah satu hikmahnya banyak madzhab.
Jika kaum muslimin
memaksakan pendapatnya harus diterima oleh muslim lainnya, sungguh melebihi
Rasul. Yang membahayakan, bukan keanekaragaman faham atau pandangan, tapi
perpecahan di kalangan umat yang diakibatkan perbedaan faham. Faham boleh beda,
jamiyah boleh banyak, partai boleh bermacam-macam, yang penting bersaudara dan
tidak berceri berai, satu prinsip, satu kepemimpinan, satu Qur’an dan satu
Sunnah. Inilah langkah menuju kesuksesan dan kebahagiaan umat.
Langkah kelima
mengingat ni’mat Allah SWT sebagai mana tersirat pada firman-Nya: وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ dan ingatlah atas ni’mat
yang telah Allah anugrahkan kepada kalian.
Untuk mencapai kebahagiaan,
kita jangan hanya ingat pada kekurangan, mushibah, dan bencana. Hendaknya ingat
pula atas keni’matan yang tiada terhingga. Allah SWT tidak pernah berhenti
menurunkan rahmat dan ni’matnya, kepada kita terutama nikmat berada dalam
Dienul Islam. Jika kita merasa sedih, duka, dan nestapa, sebetulnya bukan tiada
ni’mat, melainkan karena kita melupakannya. Segala yang diciptakan Allah SWT,
pasti mengandung ni’mat bagi manusia.
Terjadi banjir diberbagai
tempat, bukan hujan yang membawa mafsadat, melainkan ulah manusia yang kurang
memperhatikan kondisi lingkungan. Krisis ekonomi terjadi, bukan berarti Allah
tidak memberi rejeki, tapi manusia kurang taat pada ketentuan Ilahi. Bukankah
banyak negara di dunia ini yang alamnya gersang, tapi penduduknya sejahtera.
Bukankah banyak rakyat yang berada di tanah tandus, tapi hidupnya ma’mur?
Jika saat ini dalam
keadaan terpuruk, dan krisis multi dimensi, hendaklah menjadi bahan introspeksi.
Mungkin kehidupan telah melenceng dari ketentuan Ilahi. Oleh karena itu jika
sedang duka jangan menyalahkan Allah, apalagi berburuk sangka. Allah SWT tidak
pernah berhenti mencurahkan rahmat-Nya ke dunia ini. Ingatlah ni’mat-nya itu,
jangan sampai kita lupakan. Mengingat ni’mat, tentu akan mendorong kita untuk
bersyukur. Bersyukur kepada Allah adalah menggunakan apa yang diberikan-Nya
demi untuk beribadah kepada-Nya. Bila kita mampu bersyukur, maka ni’mat Allah
akan bertambah.
واذ تاذن ربكم
لئن شكرتم لازيدنكم ولئن كفرتم ان عذابي لشديد
“Dan (ingatlah), tatkala
Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS.14 : 7)
Ayat ini merupakan jaminan
bagi kita, bawa Allah SWT akan menambah ni’mat bagi orang yang mampu bersyukur.
Sebaliknya jika kita kufur, maka ni’mat yang ada pun akan hilang, karena
diganti dengan siksaan.
Langkah keenam mempererat
persaudaraan sebagai mana tersirat pada firman-Nya:
فَأَلَّفَ
بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى
شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا
Manusia bercerai berai yang
kuat menindas yang lemah, yang kaya memperbudak yang miskin. Kini ajaran
rasulullah telah tiba, hati kita menjadi bersaudara. Mari kita pererat
persaudaraan ini.
Langkah ketujuh managemen
umat yang terdiri atas komponen da’i, amir, dan nahy. Firman-Nya:
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al-Khair, menyuruh yang ma`ruf
dan mencegah dari yang munkar; merekalah itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali Imran : 104)
Kaum muslimin yang seakidah
itu harus terhimpun dalam umatan wahidah, yang masing mempunyai tugas serta
tanggung jawab sesuai dengan kemampuan, kekuasaan dan kewenangannya. Komponen
umat, berdasar ayat tersebut antara lain, pertama adalah da’i, ulama,
cendekiawan, bertanggung jawab menyeru pada al-Khair yaitu yang membawa
kemaslahatan hidup bermasyarakat dan beragama. Kedua umara, mulai dari tingkat
pusat hingga lurah bertanggung jawab memerintah yang ma’ruf, yaitu segala
sesuatu yang dianggap baik oleh manusia dan sesuai dengan ajaran syari’ah
Islam. Komponen ketiga adalah aparat hukum, kepolisian, bertanggung jawab
menegakkan keadilan dan memberantas kemunkaran. Seluruh rakyat pun diatur
oleh ketiga komponen besar tersebut. Tidak satu pun individu muslim yang tidak
terlibat pada tanggung jawab da’wah ilal-khair, amar ma’ruf dan nahy munkar.
Jika tidak, maka ancaman Allah akan datang. rasulullah SAW bersabda:
والَّذي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُكَرِ
أَوْلَيُوْشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ
فَلاَيُسْتَجَابُ لَكُمْ. رواه الترمذي
“Demi Dzat yang diriku di
bawah kekuasaan-Nya, sungguh kalian wajib amar ma'ruf dan nahy munkar, jika
tidak demikian, pasti Allah akan menurunkan siksaan atasmu, lalu sesudah itu
kalian berdu'a yang tidak diterima atau tidak diperkenankan Allah SWT.”. (HR.
Tirmidzi dari Hudzaifah)
Hadits ini mengancam,
betapa berat akibat yang dipikul jika amar ma’ruf dan nahy munkar
tidak dijalankan. Allah menurunkan siksa, dan du’a tidak terkabul. Dalam surat
al-Maidah 78 juga ditandaskan, mengapa Allah mengutuk Bani Israel di masa lalu?
Penyebabnya ialah karena mereka tidak mau amar ma’ruf dan nahy
munkar.
“Telah dilaknati
orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang
demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu
sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu”. (QS. 5 : 78-79)
Tidak ada istilah berpangku
tangan bagi kaum muslimin jika melihat kemunkaran. Kemunkaran harus tetap
diberantas, walau pelakunya sahabat kita, kawan atau atasan. Persahabatan,
golongan korp, atau kolega, jangan menghalangi nahy munkar.
Pada QS 3 : 104 di atas tadi
ditandaskan bahwa orang yang muflihun adalah orang yang yadu’na ilal-khair,
ya’muruna bil-ma’ruf dan yanhauna anil-munkar. Oleh karena itu
langkah ketujuh dalam menghimpun umat ini tidak bisa dilepaskan dalam usaha
meraih Al-falah.
![Iklan Detail Berita](https://albashirah.com/asset/foto_iklantengah/home.jpg)