Menuju Falah

Kaum
muslimin selalu dianjurkan untuk meraih sukses, kemenangan dan keberuntungan.
Lima kali sehari semalam kita mendengar adzan berkumandang, yang menyeru kita
agar meraih kemenangan.
حَيَّ عَلى الصلاة حيَّ على الفلاح
mari
kita menegakkan shalat, mari kita meraih kemenangan!
Tiga ayat dari surat ali-Imran memberikan bimbingan kepada kita tentang langkah
menuju al-Falah. Kita perhatikan ayat 102:
Baca Lainnya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ
حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون
“Wahai
orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya
takwa. Janganlah kamu mati kecuali sebagai muslim”.
Ayat ini memanggil kita agar berusaha manggapai takwa yang hakiki dan melarang
mati kecuali dalam keadaan muslim. Dengan demkian berdasar ayat ini langkah
pertama menuju al-falah ialah اتَّقُوا اللهَ
حَقَّ تُقَاتِهِ
Takwa ialah menjaga diri dari hal-hal yang merugikan kehidupan duniawi maupun
ukhrawi. Menjaga diri dari kerugian duniawi, dengan cara hidup sesuai
sunnatullah yang tersurat dan tersirat dalam kejadian alam. Sedangkan menjaga
diri dari kerugian ukhrawi caranya adalah hidup sesuai dengan syari’ah Allah,
baik al-Qur’an maupun as-Sunnah. Oleh karena itu takwa dari sudut ini
mengandung arti imtitsalul-awamir wajtinabun-Nawahi / امت ثلل اومر
وجتنبن نوح
Disiplin mentaati aturan Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Melanggar sunnatullah, berakibat penderitaan di dunia. Sedangkan melanggar
syari’ah Allah akan menjerumuskan penderitaan di akhirat. Bila melanggar
kedua-duanya, bakal menjerumuskan penderitaan dunia akhirat. Orang yang ingin
bahagia dunia akhirat, harus disiplin mentaati syari’ah Allah SWT, dan
mengikuti sunnatullah. Syari’ah dan sunnatullah itulah pedoman dan aturan hidup
kita, yang menjamin bahagia sepanjang masa.
Langkah
yang kedua adalah وَلا تَمُوتُنَّ
إلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ Jangan
mati kecuali sebagai muslim.
Larangan mati kecuali dalam Islam, mengandung arti perintah mempertahankan Dien
Islam sampai mati.Kita muslimin yang ingin meraih kemenangan tidak rela mati
kecuali karena membela Dien Islam. Harta, tenaga, maupun fasilitas apapun tidak
akan dikorbankan, kalau bukan untuk Dien Islam.Kita sebagai muslim, rela
berkorban, tapi tidak akan rela jadi korban. Pengorbanan kita hanya untuk Dien
Islam. Kita berekonomi, demi Islam. Berbudaya demi Islam. Berorganisasi demi
membela Dien Islam. Berpolitik bahkan bernegara pun hanya untuk Islam. Dalam
kehidupan berpolitik, tidak pernah ada kawan yang abadi, dan tidak pernah ada
lawan yang abadi. Yang ada hanya kepentingan yang abadi. Kita sebagai muslim,
kepentingan yang abadi adalah Islam. Yang kita bela adalah yang benar menurut
Islam. Bukan yang benar menurut ormas, bukan menurut jam’iyah, bukan menurut
kelompok atau golongan. Oleh karena itu, seorang muslim, tidak ada istilah
membela mati-matian untuk kepentingan tokoh, kepentingan organisasi atau
jam’iah. Yang dibela mati-matian kita hanya Islam.
Inilah prinsip hidup وَلا تَمُوتُنَّ إلاَّ وَأَنْتُمْ
مُسْلِمُونَ
Langkah ketiga tersirat pada firman Allah SWT وَاعتَصِمُوْا بحبل
الله جَمِيْعَا Berpegang
teguh pada hablillah.
Hablillah ialah ikatan kita dengan Allah SWT, berupa pedoman hidup yang mesti
kita jalani. Hablillah adalah al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Berpegang teguh pada tali Allah SWT berarti menjadikan al-Qur’an dan sunnah
sebagai pedoman hidup dan sumber hukum, serta menolak hukum dan aturan hidup
yang tidak bersumber dari Allah
Langkah keempat, menghindari perpecahan:
ولا تفرقوا janganlah
bercerai berai.
Kita menyadari bahwa di dunia ini terdiri dari berbagai bangsa dan
bahasa. Beragamnya bangsa dan bahasa menimbulkan beranekanya keinginan,
kebiasaan dan pandangan. Tentu saja memunculkan perbedaan di berbagai bidang.
Islam tidaklah menolak keragaman dan perbedaan. Namun jika perbedaan tersebut
menimbulkan perpecahan, akan berakibat terpuruknya tatanan kehidupan. Karenanya
keanekaragaman tersebut hendaklah dijadikan ajang persaingan yang sehat, dan
saling mengenal satu dengan yang lainnya.
يايها الناس انا خلقنكم من ذكر وانثى وجعلنكم
شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقكم ان الله عليم خبير
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Q.S. 49 : 13
Ayat ini menggariskan bahwa manusia diciptakan Allah SWT beraneka ragam bangsa,
kafilah, dan suku. Suatu bangsa tidak diperkenankan merasa unggul melebihi
bangsa lain. Satu golongan tidak boleh merasa unggul di atas golongan lain.
Satu jam’iyah tidak layak merasa lebih benar, lebih hebat atau lebih tinggi di
atas lainnya. Yang paling mulia, paling unggul di sisi Allah, bukanlah
ditentukan oleh ras, suku, golongan atau kelompok, melainkan ditentukan oleh
takwa. Sedangkan ketakwaan seseorang sangatlah rahasia. Siapa pun tidak tahu,
derajat ketakwaan seseorang, selain Allah SWT.
Rasulullah SAW pernah berisyarat tatkala mendapat bertanyaan tentang letaknya
nilai takwa. Attaqwa ha huna (sambil menunjukkan dadanya). Betapa rahasia nilai
ketakwaan manusia. Oleh karena itu tidak sepatutnya satu kelompok merasa lebih
unggul di banding lainnya.
Perbedaan pandangan atau pendapat dalam memahami suatu persolan, termasuk
memahami isi al-Qur’an dan sunnah, merupakan kenyataan yang tidak dapat
dihapuskan. Al-Qur’an dan sunnah adalah kebenaran mutlak yang tidak boleh
diragukan. Namun pemahaman seseorang, terhadap keduanya itu tidak bisa
dianggap mutlak. Sumbernya mutlak, tapi pemahamannya relatif. Di antara faktor
penyebab seringnya perpecahan
adalah menganggap mutlak pada yang relatif. Untuk itu jangan menganggap mutlak
benar pada pendapat orang, sekalipun dia seorang tokoh.
Kita tidak mungkin bisa menyatukan pandangan atau pemahan, sebab keaneka
ragaman tersebut merupakan sunnatullah. Rasulullah SAW pernah berdu’a memohon
kepada Allah untuk kesatuan umatnya, tapi tak terkabulkan.
Hadist riwayat Imam Ahmad, Nasa’i dan dianggap Shahih oleh Imam Hakim dan Ibnu
Khuzaimah, menerangkan bahwa Anas berkisah:
رَايْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي
سَفَرٍ صَلَّى سُبْحَة الضُّحَى ثَمَانِي رَكَعَاتٍ فَلَمَّاانْصَرَفَ قَالَ {
إِنِّي صَلَّيْتُ صَلاَةً رَغْبَةً وَرُهْبَةً سَأَلْتُ رَبِّي ثَلاَثًا
فَأَعْطَانِيْ اثْنَتَيْنِ وَمَنَعَنِي وَاحِدَةً سَألْتُهُ ألاَّ يَبْتَلِيَ
أُمَّتِي بِالسِّنِيْنَ فَفَعَلَ وَسَأَلْتُهُ أَلاَّ بَظْهَرَ عَلَيْهِمْ
عَدُوُّهُمْ فَفَعَلَ وَسَأَلْتُهُ أَلاَّ يَلْبَسَهُمْ شِيَعًا فَأَبَى عَلَيَّ
“Saya
melihat Rasulullah pada satu peperangan di pagi hari melakukan shalat dhuha
delapan rakaat setelah selesai ia berkata: Aku lakukan shalat dengan penuh
harapan dan kecintaan, lalu aku memohon kepada Allah tuhanku tentang tiga
permintaan, namun hanya dua yang Ia qabulkan. Aku mohon agar umatku tidak
dilanda dengan kepedihan dan kelaparan, Dia qabulkan. Aku mohon agar umatku,
jangan dikalahkan musuh Dia qabulkan. Namun aku memohon agar umatku
berada pada satu golongan, satu pendapat, maka Allah tidak mengabulkan”.
(Fiqh-Sunnah. I:177)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa Allah SWT tidak mengabulkan permohonan Rasul
agar umatnya satu kesatuan. Andaikata umat Islam itu hanya satu pendapat,
sudah barang tentu kemampuan berfikir umat Islam tidak akan berkembang. Dengan
adanya perbedaan pendapat, akan menimbulkan rasa penasaran bagi umat Islam
untuk meninjau kembali apa yang telah didapat. Dengan demikian akan lebih
berusaha mencari kebenaran. Itulah salah satu hikmahnya banyak madzhab.
Jika kaum muslimin memaksakan pendapatnya harus diterima oleh muslim lainnya,
sungguh melebihi Rasul. Yang membahayakan, bukan keanekaragaman faham atau
pandangan, tapi perpecahan di kalangan umat yang diakibatkan perbedaan faham.
Faham boleh beda, jamiyah boleh banyak, partai boleh bermacam-macam, yang
penting bersaudara dan tidak berceri berai, satu prinsip, satu kepemimpinan,
satu Qur’an dan satu Sunnah. Inilah langkah menuju kesuksesan dan kebahagiaan
umat.
Langkah kelima mengingat ni’mat Allah SWT sebagai mana tersirat pada
firman-Nya: وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ dan
ingatlah atas ni’mat yang telah Allah anugrahkan kepada kalian.
Untuk mencapai kebahagiaan, kita jangan hanya ingat pada kekurangan, mushibah,
dan bencana. Hendaknya ingat pula atas keni’matan yang tiada terhingga. Allah
SWT tidak pernah berhenti menurunkan rahmat dan ni’matnya, kepada kita terutama
nikmat berada dalam Dienul Islam. Jika kita merasa sedih, duka, dan nestapa,
sebetulnya bukan tiada ni’mat, melainkan karena kita melupakannya. Segala yang
diciptakan Allah SWT, pasti mengandung ni’mat bagi manusia.
Terjadi banjir diberbagai tempat, bukan hujan yang membawa mafsadat, melainkan
ulah manusia yang kurang memperhatikan kondisi lingkungan.
Krisis ekonomi terjadi, bukan berarti Allah tidak memberi rejeki, tapi manusia
kurang taat pada ketentuan Ilahi. Bukankah banyak negara di dunia ini yang
alamnya gersang, tapi penduduknya sejahtera. Bukankah banyak rakyat yang berada
di tanah tandus, tapi hidupnya ma’mur?
Jika saat ini dalam keadaan terpuruk, dan krisis multi dimensi, hendaklah
menjadi bahan introsfeksi. Mungkin kehidupan telah melenceng dari ketentuan
Ilahi. Oleh karena itu jika sedang duka jangan menyalahkan Allah, apalagi
berburuk sangka. Allah SWT tidak pernah berhenti mencurahkan rahmat-Nya ke
dunia ini. Ingatlah ni’mat-nya itu, jangan sampai kita lupakan. Mengingat
ni’mat, tentu akan mendorong kita untuk bersyukur. Bersyukur kepada Allah
adalah menggunakan apa yang diberikan-Nya demi untuk beribadah kepada-Nya. Bila
kita mampu bersyukur, maka ni’mat Allah akan bertambah.
واذ تاذن ربكم لئن شكرتم لازيدنكم ولئن كفرتم ان
عذابي لشديد
Dan (ingatlah), tatkala
Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". Qs.14:7
Ayat ini merupakan jaminan bagi kita, bawa Allah SWT akan menambah ni’mat bagi
orang yang mampu bersyukur. Sebaliknya jika kita kufur, maka ni’mat yang ada
pun akan hilang, karena diganti dengan siksaan.
Langkah keenam mempererat persaudaraan sebagai mana tersirat pada firman-Nya:
فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ
بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ
فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا
manusia
bercerai berai yang kuat menindas yang lemah, yang kaya memperbudak yang
miskin. Kini Ajaran rasulullah telah tiba, hati kita menjadi bersaudara. Mari
kita pererat persaudaraan ini, khususnya jamaah
Langkah ketujuh managemen umat yang terdiri atas komponen da’i, amir, dan nahy.
Firman-Nya:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى
الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al-Khair,
menyuruh yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah itulah
orang-orang yang beruntung.
Kaum muslimin yang seakidah itu harus terhimpun dalam umatan wahidah, yang
masing mempunyai tugas serta tanggung jawab sesuai dengan kemampuan, kekuasaan
dan kewenangannya. Komponen umat, berdasar ayat tersebut antara lain, pertama
adalah da’i, ulama, cendekiawan, bertanggung jawab menyeru pada al-Khair yaitu
yang membawa kemaslahatan hidup bermasyarakat dan beragama. Kedua umara, mulai
dari tingkat pusat hingga lurah bertanggung jawab memerintah yang ma’ruf, yaitu
segala sesuatu yang dianggap baik oleh manusia dan sesuai dengan ajaran
syari’ah Islam. Komponen ketiga adalah aparat hukum, kepolisian, bertanggung
jawab menegakkan keadilan dan memberantas kemunkaran. Seluruh rakyat pun diatur
oleh ketiga komponen besar tersebut. Tidak satu pun individu muslim yang tidak
terlibat pada tanggung jawab da’wah ilal-khair, amar ma’ruf dan nahy munkar.
Jika tidak, maka ancaman Allah akan datang. rasulullah SAW bersabda:
والَّذي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ
بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُكَرِ أَوْلَيُوْشِكَنَّ اللهُ أَنْ
يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَيُسْتَجَابُ لَكُمْ.
رواه الترمذي
Demi Dzat yang diriku di bawah kekuasaan-Nya, sungguh kalian wajib amar ma'ruf
dan nahy munkar, jika tidak demikian, pasti Allah akan menurunkan siksaan
atasmu, lalu sesudah itu kalian berdu'a yang tidak diterima atau tidak
diperkenankan Allah SWT. Hr. Tirmidzi dari Hudzaifah
Hadits ini mengancam, betapa berat akibat yang dipikul jika amar ma’ruf dan
nahy munkar tidak dijalankan. Allah menurunkan siksa, dan du’a tidak terkabul.
Dalam surat al-Maidah 78 juga ditandaskan, mengapa Allah mengutuk Bani Israel
di masa lalu? Penyebabnya ilah karena mereka tidak mau amar ma’ruf dan nahy
munkar.
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan Isa
putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui
batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka
perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu”. QS. 5
: 78-79
Tidak ada istilah berpangku tangan, bagi kaum muslimin jika melihat kemunkaran.
Kemunkaran harus tetap diberantas, walau pelakunya sahabat kita, kawan atau
atasan. Persahabatan, golongan korp, atau kolega, jangan menghalangi nahy
munkar.
Pada ayat 3:104 tadi ditandaskan bahwa orang yang muflihun adalah orang yang
yadu’na ilal-khair, ya’muruna bil-ma’ruf dan yanhauna anil-munkar. Oleh karena
itu langkah ketujuh dalam menghimpun umat ini tidak bisa dilepaskan dalam usaha
meraih l-falah.
