Menuju Falah

By Redaksi 05 Agu 2023, 11:47:14 WIB Motivasi
Menuju Falah

Kaum muslimin selalu dianjurkan untuk meraih sukses, kemenangan dan keberuntungan. Lima kali sehari semalam kita mendengar adzan berkumandang, yang menyeru kita agar meraih kemenangan.


حَيَّ عَلى الصلاة حيَّ على الفلاح

“mari kita menegakkan shalat, mari kita meraih kemenangan!”

Baca Lainnya :

 

Tiga ayat dari surat ali-Imran memberikan bimbingan kepada kita tentang langkah menuju al-Falah. Kita perhatikan ayat 102:


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون

“Wahai orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Janganlah kamu mati kecuali sebagai muslim”.

 

Ayat ini memanggil kita agar berusaha manggapai takwa yang hakiki dan melarang mati kecuali dalam keadaan muslim. Dengan demkian berdasar ayat ini langkah pertama menuju al-falah ialah  اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ

 

Takwa ialah menjaga diri dari hal-hal yang merugikan kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Menjaga diri dari kerugian duniawi, dengan cara hidup sesuai sunnatullah yang tersurat dan tersirat dalam kejadian alam. Sedangkan menjaga diri dari kerugian ukhrawi caranya adalah hidup sesuai dengan syari’ah Allah, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah. Oleh karena itu takwa dari sudut ini mengandung arti imtitsalul-awamir wajtinabun-Nawahi / امت ثلل اومر وجتنبن نوح  Disiplin mentaati aturan Allah dan menjauhi larangan-Nya.

 

Melanggar sunnatullah, berakibat penderitaan di dunia. Sedangkan melanggar syari’ah Allah akan menjerumuskan penderitaan di akhirat. Bila melanggar kedua-duanya, bakal menjerumuskan penderitaan dunia akhirat. Orang yang ingin bahagia dunia akhirat, harus disiplin mentaati syari’ah Allah SWT, dan mengikuti sunnatullah. Syari’ah dan sunnatullah itulah pedoman dan aturan hidup kita, yang menjamin bahagia sepanjang masa.

 

Langkah yang kedua adalah  وَلا تَمُوتُنَّ إلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ Jangan mati kecuali sebagai muslim.

 

Larangan mati kecuali dalam Islam, mengandung arti perintah mempertahankan Dien Islam sampai mati. Kita muslimin yang ingin meraih kemenangan tidak rela mati kecuali karena membela Dien Islam. Harta, tenaga, maupun fasilitas apapun tidak akan dikorbankan, kalau bukan untuk Dien Islam. Kita sebagai muslim, rela berkorban, tapi tidak akan rela jadi korban. Pengorbanan kita hanya untuk Dien Islam. Kita berekonomi, demi Islam. Berbudaya demi Islam. Berorganisasi demi membela Dien Islam. Berpolitik bahkan bernegara pun hanya untuk Islam. Dalam kehidupan berpolitik, tidak pernah ada kawan yang abadi, dan tidak pernah ada lawan yang abadi. Yang ada hanya kepentingan yang abadi. Kita sebagai muslim, kepentingan yang abadi adalah Islam. Yang kita bela adalah yang benar menurut Islam. Bukan yang benar menurut ormas, bukan menurut jam’iyah, bukan menurut kelompok atau golongan. Oleh karena itu, seorang muslim, tidak ada istilah membela mati-matian untuk kepentingan tokoh, kepentingan organisasi atau jam’iah. Yang dibela mati-matian kita hanya Islam.
Inilah prinsip hidup
 وَلا تَمُوتُنَّ إلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

 

Langkah ketiga tersirat pada firman Allah SWT وَاعتَصِمُوْا بحبل الله جَمِيْعَا Berpegang teguh pada hablillah.

 

Hablillah ialah ikatan kita dengan Allah SWT, berupa pedoman hidup yang mesti kita jalani. Hablillah adalah al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Berpegang teguh pada tali Allah SWT berarti menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai pedoman hidup dan sumber hukum, serta menolak hukum dan aturan hidup yang tidak bersumber dari Allah.

 

Langkah keempat, menghindari perpecahan:
ولا تفرقوا janganlah bercerai berai.

 

Kita menyadari bahwa di dunia ini terdiri dari berbagai  bangsa dan bahasa. Beragamnya bangsa dan bahasa menimbulkan beranekanya keinginan, kebiasaan dan pandangan. Tentu saja memunculkan perbedaan di berbagai bidang. Islam tidaklah menolak keragaman dan perbedaan. Namun jika perbedaan tersebut menimbulkan perpecahan, akan berakibat terpuruknya tatanan kehidupan. Karenanya keanekaragaman tersebut hendaklah dijadikan ajang persaingan yang sehat, dan saling mengenal satu dengan yang lainnya.


يايها الناس انا خلقنكم من ذكر وانثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقكم ان الله عليم خبير

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. 49 : 13)

 

Ayat ini menggariskan bahwa manusia diciptakan Allah SWT beraneka ragam bangsa, kafilah, dan suku. Suatu bangsa tidak diperkenankan merasa unggul melebihi bangsa lain. Satu golongan tidak boleh merasa unggul di atas golongan lain. Satu jam’iyah tidak layak merasa lebih benar, lebih hebat atau lebih tinggi di atas lainnya. Yang paling mulia, paling unggul di sisi Allah, bukanlah ditentukan oleh ras, suku, golongan atau kelompok, melainkan ditentukan oleh takwa. Sedangkan ketakwaan seseorang sangatlah rahasia. Siapa pun tidak tahu, derajat ketakwaan seseorang, selain Allah SWT.

 

Rasulullah SAW pernah berisyarat tatkala mendapat pertanyaan tentang letaknya nilai takwa. Attaqwa ha huna (sambil menunjukkan dadanya). Betapa rahasia nilai ketakwaan manusia. Oleh karena itu tidak sepatutnya satu kelompok merasa lebih unggul di banding lainnya.

 

Perbedaan pandangan atau pendapat dalam memahami suatu persolan, termasuk memahami isi al-Qur’an dan sunnah, merupakan kenyataan yang tidak dapat dihapuskan. Al-Qur’an dan sunnah adalah kebenaran mutlak yang tidak boleh diragukan. Namun pemahaman  seseorang, terhadap keduanya itu tidak bisa dianggap mutlak. Sumbernya mutlak, tapi pemahamannya relatif. Di antara faktor penyebab seringnya perpecahan adalah menganggap mutlak pada yang relatif. Untuk itu jangan menganggap mutlak benar pada pendapat orang, sekalipun dia seorang tokoh.

 

Kita tidak mungkin bisa menyatukan pandangan atau pemahaman, sebab keanekaragaman tersebut merupakan sunnatullah. Rasulullah SAW pernah berdo’a memohon kepada Allah untuk kesatuan umatnya, tapi tak terkabulkan.

 

Hadist riwayat Imam Ahmad, Nasa’i dan dianggap Shahih oleh Imam Hakim dan Ibnu Khuzaimah, menerangkan bahwa Anas berkisah:


رَايْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرٍ صَلَّى سُبْحَة الضُّحَى ثَمَانِي رَكَعَاتٍ فَلَمَّاانْصَرَفَ قَالَ { إِنِّي صَلَّيْتُ صَلاَةً رَغْبَةً وَرُهْبَةً سَأَلْتُ رَبِّي ثَلاَثًا فَأَعْطَانِيْ اثْنَتَيْنِ وَمَنَعَنِي وَاحِدَةً سَألْتُهُ ألاَّ يَبْتَلِيَ أُمَّتِي بِالسِّنِيْنَ فَفَعَلَ وَسَأَلْتُهُ أَلاَّ بَظْهَرَ عَلَيْهِمْ عَدُوُّهُمْ فَفَعَلَ وَسَأَلْتُهُ أَلاَّ يَلْبَسَهُمْ شِيَعًا فَأَبَى عَلَيَّ

“Saya melihat Rasulullah pada satu peperangan di pagi hari melakukan shalat dhuha delapan rakaat setelah selesai ia berkata: ‘Aku lakukan shalat dengan penuh harapan dan kecintaan, lalu aku memohon kepada Allah tuhanku tentang tiga permintaan, namun hanya dua yang Ia qabulkan. Aku mohon agar umatku tidak dilanda dengan kepedihan dan kelaparan, Dia qabulkan. Aku mohon agar umatku, jangan dikalahkan musuh  Dia qabulkan. Namun aku memohon agar umatku berada pada satu golongan, satu pendapat, maka Allah tidak mengabulkan’”. (Fiqh-Sunnah. I:177)

 

Hadits tersebut menunjukkan bahwa Allah SWT tidak mengabulkan permohonan Rasul agar umatnya satu kesatuan. Andaikata umat Islam itu  hanya satu pendapat, sudah barang tentu kemampuan berfikir umat Islam tidak akan berkembang. Dengan adanya perbedaan pendapat, akan menimbulkan rasa penasaran bagi umat Islam untuk meninjau kembali apa yang telah didapat. Dengan demikian akan lebih berusaha mencari kebenaran. Itulah salah satu hikmahnya banyak madzhab.

 

Jika kaum muslimin memaksakan pendapatnya harus diterima oleh muslim lainnya, sungguh melebihi Rasul. Yang membahayakan, bukan keanekaragaman faham atau pandangan, tapi perpecahan di kalangan umat yang diakibatkan perbedaan faham. Faham boleh beda, jamiyah boleh banyak, partai boleh bermacam-macam, yang penting bersaudara dan tidak berceri berai, satu prinsip, satu kepemimpinan, satu Qur’an dan satu Sunnah. Inilah langkah menuju kesuksesan dan kebahagiaan umat.

 

Langkah kelima  mengingat ni’mat Allah SWT sebagai mana tersirat pada firman-Nya:  وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ dan ingatlah atas ni’mat yang telah Allah anugrahkan kepada kalian.

 

Untuk mencapai kebahagiaan, kita jangan hanya ingat pada kekurangan, mushibah, dan bencana. Hendaknya ingat pula atas keni’matan yang tiada terhingga. Allah SWT tidak pernah berhenti menurunkan rahmat dan ni’matnya, kepada kita terutama nikmat berada dalam Dienul Islam. Jika kita merasa sedih, duka, dan nestapa, sebetulnya bukan tiada ni’mat, melainkan karena kita melupakannya. Segala yang diciptakan Allah SWT, pasti mengandung ni’mat bagi manusia.

 

Terjadi banjir diberbagai tempat, bukan hujan yang membawa mafsadat, melainkan ulah manusia yang kurang memperhatikan kondisi lingkungan. Krisis ekonomi terjadi, bukan berarti Allah tidak memberi rejeki, tapi manusia kurang taat pada ketentuan Ilahi. Bukankah banyak negara di dunia ini yang alamnya gersang, tapi penduduknya sejahtera. Bukankah banyak rakyat yang berada di tanah tandus, tapi hidupnya ma’mur?

 

Jika  saat ini dalam keadaan terpuruk, dan krisis multi dimensi, hendaklah menjadi bahan introspeksi. Mungkin kehidupan telah melenceng dari ketentuan Ilahi. Oleh karena itu jika sedang duka jangan menyalahkan Allah, apalagi berburuk sangka. Allah SWT tidak pernah berhenti mencurahkan rahmat-Nya ke dunia ini. Ingatlah ni’mat-nya itu, jangan sampai kita lupakan. Mengingat ni’mat, tentu akan mendorong kita untuk bersyukur. Bersyukur kepada Allah adalah menggunakan apa yang diberikan-Nya demi untuk beribadah kepada-Nya. Bila kita mampu bersyukur, maka ni’mat Allah akan bertambah.


واذ تاذن ربكم لئن شكرتم لازيدنكم ولئن كفرتم ان عذابي لشديد

“Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS.14 : 7)

 

Ayat ini merupakan jaminan bagi kita, bawa Allah SWT akan menambah ni’mat bagi orang yang mampu bersyukur. Sebaliknya jika kita kufur, maka ni’mat yang ada pun akan hilang, karena diganti dengan siksaan.

 

Langkah keenam mempererat persaudaraan sebagai mana tersirat pada firman-Nya:


فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا

Manusia bercerai berai yang kuat menindas yang lemah, yang kaya memperbudak yang miskin. Kini ajaran rasulullah telah tiba, hati kita menjadi bersaudara. Mari kita pererat persaudaraan ini.

 

Langkah ketujuh managemen umat yang terdiri atas komponen da’i, amir, dan nahy. Firman-Nya:


وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al-Khair, menyuruh yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali Imran : 104)

 

Kaum muslimin yang seakidah itu harus terhimpun dalam umatan wahidah, yang masing mempunyai tugas serta tanggung jawab sesuai dengan kemampuan, kekuasaan dan kewenangannya. Komponen umat, berdasar ayat tersebut antara lain, pertama adalah da’i, ulama, cendekiawan, bertanggung jawab menyeru pada al-Khair yaitu yang membawa kemaslahatan hidup bermasyarakat dan beragama. Kedua umara, mulai dari tingkat pusat hingga lurah bertanggung jawab memerintah yang ma’ruf, yaitu segala sesuatu yang dianggap baik oleh manusia dan sesuai dengan ajaran syari’ah Islam. Komponen ketiga adalah aparat hukum, kepolisian, bertanggung jawab menegakkan keadilan dan memberantas kemunkaran. Seluruh rakyat pun diatur  oleh ketiga komponen besar tersebut. Tidak satu pun individu muslim yang tidak terlibat pada tanggung jawab da’wah ilal-khair, amar ma’ruf dan nahy munkar. Jika tidak, maka ancaman Allah akan datang. rasulullah SAW bersabda:


والَّذي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُكَرِ أَوْلَيُوْشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَيُسْتَجَابُ لَكُمْ. رواه الترمذي

“Demi Dzat yang diriku di bawah kekuasaan-Nya, sungguh kalian wajib amar ma'ruf dan nahy munkar, jika tidak demikian, pasti Allah akan menurunkan siksaan atasmu, lalu sesudah itu kalian berdu'a yang tidak diterima atau tidak diperkenankan Allah SWT.”. (HR. Tirmidzi dari Hudzaifah)

 

Hadits ini mengancam, betapa berat akibat yang dipikul jika amar ma’ruf dan nahy munkar tidak dijalankan. Allah menurunkan siksa, dan du’a tidak terkabul. Dalam surat al-Maidah 78 juga ditandaskan, mengapa Allah mengutuk Bani Israel di masa lalu? Penyebabnya ialah karena mereka tidak mau amar ma’ruf dan nahy munkar.

 

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu”. (QS. 5 : 78-79)

 

Tidak ada istilah berpangku tangan bagi kaum muslimin jika melihat kemunkaran. Kemunkaran harus tetap diberantas, walau pelakunya sahabat kita, kawan atau atasan. Persahabatan, golongan korp, atau kolega, jangan menghalangi nahy munkar.

 

Pada QS 3 : 104 di atas tadi ditandaskan bahwa orang yang muflihun adalah orang yang yadu’na ilal-khair, ya’muruna bil-ma’ruf dan yanhauna anil-munkar. Oleh karena itu langkah ketujuh dalam menghimpun umat ini tidak bisa dilepaskan dalam usaha meraih Al-falah.