بسم الله الرحمن الرحيم
اقْرَأْ بِاسْمِ
رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَرَبُّكَ
الْأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ
يَعْلَمْ.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha
Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.
(QS Al-‘Alaq (96) : 1-5)
Pada 5
ayat pertama pada surat ini belum ada perintah dakwah, melainkan sebatas
peringatan dan persiapan bagi ayat-ayat berikutnya yang menggambarkan fenomena penentangan
para Orang-orang zalim terhadap dakwah
Nabi Muhammad Saw. (Al-Tafsir al-Hadis, Vol 1/317)
Penjelasan
Penjelasan
Mufradat
إقرأ
Berasal dari kata qara`a yang secara harfiyah
berarti menghimpun. Disebutkan sebanyak tiga kali, masing-masing pada surat
Al-Isra` (17) : 14, Al-‘Alaq (96) : 1&3), sedangkan dalam bentuk yang
berbeda terulang 17 kali selain kata Al-Qur`an yang terulang 70 kali. (Lihat
Tafsir Al-Qur`an karya M. Quraish Shihab, 1999 : 78-79)
إسم
Ismun ada dua pengertian, as sumuw
berarti tinggi dan as simat berarti tanda. Maksudnya adalah bahwa sebuah
nama adalah sebuah tanda dan nama itu ingin selalu ditinggikan.
رب
Ibnu Faris berkata,
“Kata Rabb menunjukkan beberapa arti pokok, yang pertama: memperbaiki
dan mengurus sesuatu. Maka ar-Rabb berarti yang menguasai, menciptakan
dan memiliki, juga berarti yang memperbaiki/mengurus sesuatu. (Kitab
“Mu’jamu maqaayiisil lughah” (2/313)
Ibnul Atsir berkata,
“Kata ar-Rabb secara bahasa diartikan pemilik, penguasa, pengatur,
pembina, pengurus dan pemberi nikmat. Kata ini tidak boleh digunakan dengan
tanpa digandengkan (dengan kata yang lain) kecuali untuk Allah Ta’ala
(semata), dan kalau digunakan untuk selain-Nya maka (harus) digandengkan
(dengan kata lain), misalnya: rabbu kadza (pemilik sesuatu ini). (Kitab
“an-Nihaayah fi gariibil hadits
wal atsar” (2/450)
Ibnu Jarir
Ath-Thabari rahimahullaahu ta’ala menjelaskan, Rabb adalah
dzat yang terkumpul pada dirinya tiga sifat sekaligus; pencipta (al-khâliq),
pemilik/penguasa (al-mâlik) dan pengatur (al-mudabbir). (Lihat:
Tafsîr ath-Thabary (I/142-143)
خلق
Kata خَلَقَ diartikan sebagai : menumbuhkan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya
(menciptakan). Lafadh خَلَقَ biasa digunakan hanya
untuk Allah, lafadh ini sama artinya dengan lafadh الخاَلِقُ dan الخَلاَّقُ dapat ditemukan dalam
al-Qur’an dalam term yang berbeda-beda. (Lisanul-Arab 10/85)
الإنسان
Kata insan
yang diterjemahkan dengan manusia terambil dari kata unsun yang berarti
senang, jinak dan harmonis, atau ia terambil dari akar kata nisyun yang
berarti lupa, ada juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata nausun
yang berarti pergerakan atau dinamika. (Lihat Tafsir Al-Qur`anul-Karim karya
Quraish-Shihab, 1999 : 87)
علق
Menurut Quraish
Shihab (Tafsir Al-Qur’anul-Karim, 1999 : 90), kata ‘Alaq memiliki
tiga makna:
1. Darah yang
membeku,
2. Makhluk yang hitam
seperti cacing yang terdapat di dalam air. Bila air itu diminum oleh binatang,
maka makhluk itu menyangkut di kerongkongan.
3. Bergantung atau berdempet.
Profesor Moore menjelaskan bahwa perkataan
'alaqah mempunyai tiga arti; pertama, lintah. Arti kedua, barang
yang mengambang atau menempel, dan yang ketiga, segumpal darah. Dalam
membandingkan lintah air tawar dengan embrio dalam tingkat 'alaqah ia
menyimpulkan bahwa keduanya mempunyai kenampakan yang sangat mirip. Ia selalu
menunjukkan gambar embrio berdampingan dengan gambar lintah dan menunjukkan
kepada para ilmuan dalam beberapa konferensi. Embrio dipersamakan dengan lintah
karena keduanya sama-sama menempel dan menghisap darah. Arti kedua 'alaqah
adalah barang yang mengambang atau menempel yang kita dapat melihat bahwa dalam
fase ini embrio menempel pada uterus (rahim) ibu. Arti ketiga adalah gumpalan
darah.
Profesor Moore menyebutkan bahwa embrio
pada fase 'alaqah ini mengalami proses internal, seperti pembentukan
darah dalam tabung-tabung tertutup dan karena itulah embrio memperoleh segumpal
darah, sebagaimana tambahan terhadap bentuk lintah. Kedua pernyataan ini cukup
digambarkan Al Qur'an dengan 'alaqah', satu ungkapan yang sangat tepat.
(disarikan dari http://jalansufi.com/Bukti-Kebenaran-Al-Quran)
Penjelasan
akan penciptaan manusia di atas, sebagaimana diketahui merupakan mukjizat
ilmiah yang baru dapat dibuktikan oleh ilmu sains beberapa abad setelah
turunnya al-Qur’an setelah sebelumnya berkembang teori-teori yang simpang siur
akan penciptaan manusia. Namun demikian, tujuan Al-Qur’an menjelaskan fenomena
tersebut bukanlah sebatas informasi pengetahuan belaka, namun yang lebih utama
dari itu adalah peringatan terhadap manusia bahwa diantara bukti kekuasaan
Allah swt adalah bagaimana Allah menciptakan manusia dengan bentuk yang indah
padahal bermula dari sesuatu yang tidak berarti. (Al-Tafsir al-Hadis, Vol
1/318)
Penjelasan
فأول شيء )نزل( من القرآن هذه الآيات الكريمات المباركات. وهُنَّ أول رحمة رَحم
الله بها العباد، وأول نعمة أنعم الله بها عليهم. وفيها التنبيه على ابتداء خلق
الإنسان من علقة، وأن من كَرَمه تعالى أن عَلّم الإنسان ما لم يعلم، فشرفه وكرمه
بالعلم، وهو القدر الذي امتاز به أبو البرية آدم على الملائكة، والعلم تارة يكون
في الأذهان، وتارة يكون في اللسان، وتارة يكون في الكتابة بالبنان، ذهني ولفظي
ورسمي، والرسمي يستلزمهما من غير عكس، فلهذا قال: )اقْرَأْ
وَرَبُّكَ الأكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ
يَعْلَمْ(
Mula-mula wahyu Al-Qur`an yang diturunkan
adalah ayat-ayat yang mulia lagi diberkahi ini. Ayat-ayat ini merupakan
permulaan rahmat yang diturunkan oleh Allah karena kasih sayang kepada
hamba-hamba-Nya, dan merupakan ni’mat yang mula-mula diberikan oleh Allah
kepada mereka. Di dalam surat ini terkandung peringatan yang menggugah manusia
kepada asal mula penciptaan manusia, yaitu dari ‘alaqah. Dan di antara
kemurahan Allah swt ialah Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. Hal ini berarti Allah telah memuliakan dan menghormati manusia
dengan ilmu. Dan ilmu merupakan bobot tersendiri yang membedakan Abul-Basyar
(Adam) dengan malaikat.
Ilmu itu ada kalanya berada di hati, di lisan,
dan ada kalanya dalam tulisan tangan. Berarti ilmu mencakup tiga aspek, hati,
lisan dan tulisan. Sedangkan yang di tulisan membuktikan adanya penguasaan pada
kedua aspek lainnya, tetapi tidak sebaliknya. Karena itulah Allah ta’ala berkalam,
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ
بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.
“Bacalah, dan Rabb-mu yang Maha pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidk
diketahuinya”. (QS Al-‘Alaq (96) : 3-5) (Ibnu Katsir, 4/ 437)
Perintah
qiro’ah (membaca) yang dimaksud adalah tilawah (melantunkan) wahyu
yang Allah turunkan, lalu memperhatikan misi agung yang Allah taruh di Pundak
Nabi Muhammad Saw. Serta agar Allah swt senantiasa ada dalam fikiran seorang
hamba, dan senantiasa ingat Allah dalam berbagai urusan.
Selain itu, ini juga menjadi sugesti bagi manusia agar
tidak berpaling kepada selain Allah, sehingga dengannya seseorang tidak akan
merasa dihantui oleh marabahaya duniawi, karena kehidupannya, kebutuhannya, dan
harapannya tidak terikat kepada selain Allah, Rabb yang mengatur dan
memelihara makhluk Nya. (al-Tafsir al Hadis vol.1/ 317)
Ayat ini
mengisyaratkan sanjungan al-Qur’an akan qiroah (membaca), kitabah
(menulis) dan ‘ilm (mengilmui), serta sanjungan bagi orang-orang yang
dikaruniai tiga kenikmatan tersebut. Al-Qur’an mengawali dengan tiga kenikmatan
tersebut seakan-akan ingin menjadikan ketiganya sebagai muqoddimah (awal
permulaan) kenikmatan yang Allah karuniakan kepada manusia yang harus disyukuri
dan diusahakan.
Dengan demikian
Al-Qur’an merupakan suatu kitab yang menyeru manusia agar banyak mencari tahu,
membaca, dan menulis. Seruan yang mencakup laki-laki dan Perempuan. (Al-Tafsir al-Hadis, Vol 1/317)
Allah ‘azza wa jalla
yang menganugerahkan ilmu kepada manusia melalui qalam. Mengajarkan ilmu
dengan qalam meliputi tiga hal: (1) memikirkan, (2) mengajarkan lafal
Al-Qur’an, (3) mengajarkan cara menulisnya. (Lihat At-Tashil li Ta’wil
At-Tanzil – Tafsir Juz ‘Amma, 2:430).
وَاللّٰهُ
اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ
لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun
dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar
kamu bersyukur”. (QS An-Nahl (16) : 78)
Syekh Sbdurrahman bin Nashir
As-Sa’di rahimahullaahu ta’ala mengatakan,
أَيْ: هُوَ الْمُنْفَرِدُ
بِهذِهِ النِّعَمِ حَيْثُ (أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا
تَعْلَمُونَ شَيْئًا)
وَلَا
تَقْدُرُوْنَ عَلى شَيْءٍ ثُمَّ إِنَّهُ (جَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ
وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ) خَصَّ هذِهِ الْأَعْضَاءَ الثَّلَاثَةَ، لِشَرَفِهَا
وَفَضْلِهَا وَلِأَنَّهَا مِفْتَاحٌ لِكُلِّ عِلْمٍ، فَلَا وَصَلَ لِلْعَبْدِ عِلْمٍ
إِلَّا مِنْ أَحَدِ هذِهِ الْأَبْوَابِ الثَّلَاثَةِ
“Ini nikmat tersendiri
yang dikaruniakan ketika ‘Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun’, kalian tidak
memiliki kemampuan apapun, Allah ta’ala menyempurnakannya ‘dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur.’ Allah
ta’ala mengkhususkan tiga hal ini (pendengaran,
penglihatan, dan hati) untuk memuliakannya, mengutamakannya, dan ketiga hal ini
adalah pintu seluruh ilmu. Seseorang tidak akan mencapai suatu ilmu kecuali melalui
tiga pintu ini. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 420).
Dalam atsar disebutkan,
قَيِّدُوا
الْعِلْمَ بِالْكِتَابَةِ
"Ikatlah ilmu dengan tulisan." (HR
Al Hakim dalam Al Mustadrok 1: 106. Dihasankan oleh Al Albani dalam As Silsilah
Ash Shahihah no. 2026).
Dalam atsar lainnya juga disebutkan,
مَنْ
عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَكُنْ يَعْلَمُ
"Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang ia
ketahui, maka Allah akan memberikan dia ilmu yang ia tidak ketahui." (HR
Abu Nu'aim dalam Hilyatul Awliya', 10: 15. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
riwayat ini maudhu' atau palsu. Lihat As Silsilah Adh Dho'ifah no. 422)
Ayat-ayat ini memotivasi kita
untuk belajar. Mendorong kita untuk menuntut ilmu. Banyak faedah yang kita
dapatkan dari menimba ilmu.
Sebagai seorang muslim yang
menjadi pelanjut cerita, penerus perjuangan para pejuang terdahulu, maka ilmu
adalah modal utama, mengemban amanah ini.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz radhiyallaahu
‘anhu mengutarakan,
مَنْ عَبَدَ اللَّهَ
بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
“Siapa yang beribadah kepada
Allah tanpa didasari ilmu, maka kerusakan yang ia perbuat lebih banyak daripada
maslahat yang diperoleh.” (Majmu’ Al Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
2: 282)
Dakwah ini adalah ibadah,
bahkan Rasulullaah menyebutnya para da’i sebagai khairu ummah, maka agar dakwah
ini bernilai, seyogyanya berdiri di atas ilmu.
Hasan Bashri rahimahullaahu
ta’ala berkata,
الْعَامِلُ عَلَى
غَيْرِ عِلْمٍ كَالسَّالِكِ عَلَى غَيْرِ طَرِيْقٍ, وَالْعَامِلُ عَلَى غَيْرِ
عِلْمٍ مَا يُفْسِدُ اكْثَرُ مِمَّا يُصْلِحُ فَاطْلُبُوا الْعِلْمَ طَلَبًا لَا
تَضُرُّوْا بِالْعِبَادَةِ وَاطْلُبُوا الْعِبَادَةَ طَلَبًا لَا تَضُرُّوْا
بِالْعِلْمِ
“Beramal
tanpa ilmu itu seperti berjalan di luar jalur. Orang
yang beramal tanpa ilmu, maka
kerusakan yang ditimbulkannya akan lebih
banyak daripada kebaikan yang diraih. Maka carilah ilmu dengan tidak mengganggu
ibadah, dan beribadahlah dengan tidak mengganggu mencari ilmu.” (Miftaah Daaris
Sa’aadah, 1/83)
Ibnul Jauzi rahimahullaahu
ta’ala mengingatkan,
اِعْلَمْ أَنَّ أَوَّلَ تَلْبِيْسِ إِبْلِيْسَ عَلَى النَّاسِ صَدَّهُمْ
عَنِ الْعِلْمِ لِأَنَّ الْعِلْمَ نُوْرٌ فَإِذَا أَطْفَأَ مَصَابِيْحَهُمْ
خَبَطَهُمْ فِي الظُلَمِ
“Ketahuilah bahwa, perangkap iblis pertama atas manusia
adalah menghalangi mereka menuntut ilmu agama, karena ilmu adalah cahaya,
apabila telah padam lentera-lentera mereka maka dengan mudah iblis
menjerumuskan mereka dalam kegelapan.” (Talbis Iblis, hal. 283)
(Bersambung)

Komentar