- Raudhah, Taman dari Taman Surga di Masjid Nabawi
- Bilal Bin Rabah Simbol Kesetaraan Sosial Dalam Islam
- Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 H
- Allah Kabulkan Doa Setiap Hamba Dengan Cara-Nya yang Ajaib
- Sunah-Sunah Hari Raya Idul Fitri
- Apa Tanda Malam Lailatul Qadar?
- Rindu Syahadah di Medan Jihad
- Dahsyatnya Kekuatan Sedekah
- Ramadhan yang Membakar
- Sejarah Masuknya Islam di Nusantara
Makna Hijrah
Berfirman Allah di dalam QS al-Baqarah ayat 218:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ
رَحِيمٌ.
Baca Lainnya :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah
dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Umar bin Khattab berkata: Aku mendengar
Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا
نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى
اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ
إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
Perbuatan-perbuatan itu hanyalah dengan niat dan bagi setiap orang
hanyalah menurut apa yang diniatkan. Karena itu, siapa yang hijrahnya itu
kepada kerelaan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya ialah kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan barang siapa hijrahnya untuk memperoleh keduniaan atau wanita
yang bakal dikawininya, maka hijrahnya itu ialah kepada apa yang telah
dihijrahi. (HR. Bukhari
dan Muslim)
Makna Hijrah
Kata hijrah (هِجْرَةٌ) berasal
dari akar kata hajara (هَجَرَ) yang
berarti berpindah (tempat,
keadaan, atau sifat), atau memutuskan, yakni memutuskan
hubungan antara dirinya dengan pihak lain, atau panas menyengat,
yang memaksa pekerja meninggalkan pekerjaannya.
Dalam pengertian syar'iy, hijrah
berarti, "perpindahan Rasulullah saw. bersama sahabat-sahabatnya dari
Mekkah menuju Madinah, kira-kira tahun ke-13 dari masa kenabiannya". Atau
"perpindahan dalam rangka meninggalkan kampung kemusyrikan menuju suatu
kampung keimanan, dalam rangka melakukan pembinaan dan pendirian masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya. Atau meninggalkan tempat, keadaan, atau sifat yang
tidak baik, menuju yang baik di sisi Allah dan Rasul-Nya (kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.).
Dalam al-Qur’an, kata hijrah dengan
segala bentuk kata jadiannya, digunakan sebanyak 31 kali, dengan mengacu kepada
makna-makna sebagai berikut:
1)
perintah
meninggalkan keburukan dan kemaksiatan (QS al-Muddatstsir : 5);
2)
berpaling
dari isteri yang tidak patuh (QS al-Nisâ' : 34);
3)
meninggalkan
orang-orang yang tidak beriman dengan cara yang baik, tanpa melukai hati
mereka (QS al-Muzammil : 10);
4)
kembali
kepada Allah dengan harapan mendapatkan hidayah-Nya (QS al-Ankabût : 26);
5)
meninggalkan
tempat, keadaan, atai sifat, karena menuntut ridha' Allah. (QS al-Nisâ' : 89).
Yang menarik pada ayat-ayat di atas, adalah Allah menggandengkan term hijrah
dengan term jihad. Hal ini menunjukkan bahwa tercapai atau tidaknya tujuan
hijrah adalah sangat bergantung pada sejauh mana dan sebesar apa semangat
kejuangan yang diberikan ketika berhijrah. Dengan demikian, hijrah membutuhkan
jihad dan niat yang benar karena Allah swt. Hijrah yang benar adalah yang
didasarkan atas niat yang benar karena Allah, sebagaimana ditegaskan dalam Hadits
Riwayat Bukhari Muslim dari Umar bin al-Khattab, seperti tersebut di atas.
Sejarah Hijrah
Ketika memasuki Tahun Baru Hijriah, Komunitas Muslim
telah menyiapkan berbagai persiapan untuk menyambutnya. Hal ini wajar bila kehadirannya
disambut dan dirayakan sesemarak dengan menyambut tahun baru
Miladiyah. Bukankah peristiwa Hijrah yang dijadikan tanda bagi
penanggalan awal tahun hijriah, tentu sarat dengan nilai-nilai, yang dapat
mengantar kepada kebahagiaan duniawi dan ukhrawi?
Dalam menguraikan peristiwa hijrah, ada yang
menekankan segi-segi suprarasional—kalau enggan berkata irrasional—yang terjadi
ketika itu, seperti ditutupnya pandangan gerombolan yang mengepung rumah Nabi
Muhammad saw. saat menjelang Hijrah, karena Rasulullah saw. membaca QS Yaasin :
9, yang menegaskan bahwa saat itu, Allah swt. menghadirkan seekor burung
merpati yang sedang mengeram dan hadirnya sarang laba-laba di pintu guwa Tsur
itu, tempat Nabi Muhammad saw. bersama sahabatnya Abu Bakar ash-Shiddiq
bersembunyi, dan lain-lain, yang sebahagian dari padanya lahir dari kekayaan
imajinasi para perawi. Kita bukannya mengingkari riwayat-riwayat yang shahih
itu, akan tetapi menekankan uraian pada segi-segi seperti disebut di atas,
tidak menunjang tugas kekhalifahan manusia di pentas bumi ini, bahkan uraian
semacam itu dapat menimbulkan image bahwa suksesnya peristiwa tersebut
semata-mata karena campur tangan kekuasaan Allah, terlepas sama sekali dari
upaya dan perjuangan Nabi Muhammad saw. bersama sahabat-sahabatnya.
Menurut M. Quraish Shihab, uraian tentang sejarah
hijrah seyogianya menonjolkan upaya-upaya Nabi Muhammad saw. dalam perencanaan
dan pelaksanaan hijrah dimulai dari mempersiapkan kendaraan, yang dilakukan
oleh Abu Bakar al-Shiddiq ra., penetapan route perjalanan yang tidak biasa
dilalui dengan panduan seorang non-muslim, persiapan kelangsungan perbekalan
yang dilakukan oleh Aisyah ra. dan saudaranya Asma ra., penugasan informan
untuk mengetahui gerak-gerik lawan yang dilaksanakan oleh ‘Amir dan Fuhairah,
dan pengelabuan yang dilakukan oleh Ali bin Abiy Thalib; yang kesemuanya
menunjukkan upaya manusia, serta membuktikan bahwa mukjizat tidak boleh
diandalkan dalam mencapai suatu tujuan, dan bahwa perencanaan dan persiapan
yang matang dan strategis itulah kunci keberhasilan suatu program.
Bahkan uraian tentang sejarah hijrah seyogianya
melampaui batas-batas penggambaran peristiwanya, akan tetapi mencakup
makna-makna yang harus ditarik dari padanya apa yang dapat mengantar umat Islam
kepada perubahan-perubahan positif, karena demikian itulah seharusnya uraian
sejarah. Memang dahulu, sejarah merupakan uraian peristiwa, pelaku, dan masa
kejadiannya. Akan tetapi kini, sejarah tidak lagi terbatas pada hal-hal
tersebut. Sejarah dipelajari dan diuraikan dalam rangka menciptakan masa depan
gemilang, yang kelak akan menjadi sejarah dan untuk maksud tersebut, setiap
peristiwanya dianalisis, sehingga dipahami latar belakangnya dan faktor-faktor
yang mengantar kepada kejadiannya. Dan ini pada gilirannya harus mampu
melahirkan sikap yang mengantar kepada keberhasilan dan kemajuan lahir dan
batin.
Hijrah sebagai Awal Kebangkitan
Tanggal 1 Muharram adalah Tahun Baru Islam. Hari itu,
secara historis, merupakan tonggak sejarah penting bagi umat Islam. Pada hari
itulah Nabi Muhammad saw. melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah, sebagai
langkah awal strategis bagi kebangkitan Islam dan umat Islam di dunia.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution dan KH. Prof.
Ibrahim Hosen, keduanya menegaskan betapa pentingnya pemahaman sejarah Islam,
lebih-lebih lagi dalam memahami makna dan hikmah di balik memperingati
peristiwa Tahun Baru Islam. Satu Muharram selain dinilai sebagai tonggak
sejarah kebangkitan Islam dan umat Islam, juga sebagai awal kalender Islam yang
berdasarkan peredaran bulan. Akan tetapi disayangkan jika sebagian besar umat
Islam belum memahami makna penting di balik Tahun Baru Islam itu dan tidak
dijadikan sebagai momentum dalam menyemarakkan, memperkokoh dan menyuburkan
syiar-syiar Islam pada setiap komunitas muslim.
Islam sebagai satu-satunya agama yang memiliki
keistimewaan, antara lain, karena langsung diberi nama oleh Allah swt.
Sedangkan agama lain, seperti “Nasrani”, nama ini berasal dari nama desa
kelahiran Nabi Isa as.; serta agama lainnya berdasarkan nama Kitabnya, seperti
Taurat. Dan keistimewaan lainnya agama Islam yang lahir di Mekkah, namun lebih
berkembang setelah hijrah ke Madinah, sebab ia agama terakhir yang
disempurnakan Allah dari agama-agama yang diturunkan kepada para nabi dan rasul
Allah sebelum Nabi Muhammad saw.
Kenyataan historis itulah yang membuat agama Islam
survive sampai 1442 Tahun Hijriah ini, sejak Nabi Muhammad saw. hijrah. Memang
masih sangat banyak faktor lain, yang menyebabkan Islam dan umat Islam dapat
bertahan dan berkembang sampai kurun waktu ini, antara lain, karena umatnya
secara fundamental bersikukuh pada fondasi al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad
saw.
Makna hakiki kebangkitan Islam dan umat Islam
sesungguhnya belum dapat dipahami oleh sebagian besar umat Islam. Hal ini
terjadi karena umat Islam belum menyadari makna keberagamaan, sebagai
satu-satunya jalan menuju kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Pengaruh Westernalisasi dan modernisasi menghentak
sebagian umat untuk menempatkan iptek lebih penting di dalam mencapai
kebahagiaan hidup umat. Pengaruh modernisasi itulah dikira mereka sebagai
satu-satunya jalan menuju kebanggaan duniawi. Mereka mengira hanya dengan
menguasai Ipteklah kebahagiaan itu tercapai. Lantas agama Islam di
mana, ya cukup di masjid sajalah.
Keberislaman bagi mereka hanya terbatas di dalam
masjid. Di luar masjid, aturan keberagamaan sama sekali diabaikan atau
terabaikan. Di luar masjid segala “jalan pintas” menuju kebahagiaan duniawi
dipraktekkan agar cepat kaya dan cepat pula bahagia, sehingga makna kebahagiaan
di dunia dipahami secara materialistik. Sesungguhnya penguasaan ipteks hanya
sebagai alat untuk memudahkan kehidupan umat manusia. Dan kekayaan hanya
merupakan alat untuk kemudahan hidup manusia. Uang pada hakekatnya hanya merupakan
alat tukar dalam sistem perekonomian. Satu-satunya cara mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan juga di akhirat hanya melalui pengamalan ajaran agama.
Hikmah Hijrah
Tujuan utama dari perayaan hijrah tidak mungkin
dicapai kalau peristiwa itu dipahami hanya sebagai rekayasa Allah swt. sendiri.
Akan tetapi dengan mengungkapkan aspek historisnya secara objektif, pasti akan
membuahkan sejumlah hikmah kehidupan dalam membangun peradaban komunitas
Muslim, paling tidak sebagai awal kebangkitan Islam dan umat Islam.
Hikmah-hikmah dimaksud, antara lain, adalah sebagai berikut;
1.
Dalam
QS al-Baqarah : 218, seperti tersebut di atas menegaskan bahwa
orang-orang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, pada hakekatnya,
adalah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat dan ampunan Allah secara
sempurna.
2.
Hijrah
dari kekufuran, yang didasari iman yang benar kepada Allah, akan diberi
kemerdekaan dan kelapangan rezeki. Dalam QS An-Nisâ' : 100 ditegaskan,
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَة
“Siapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di
bumi ini tempat yang luas dan rezeki yang banyak)”.
3.
Berhijrah
karena Allah, rezeki dunia dan akhirat (surga) akan menjadi tebusannya. Dalam
QS al-Hajj : 58 ditegaskan,
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ
قُتِلُوا أَوْ مَاتُوا لَيَرْزُقَنَّهُمْ اللَّهُ رِزْقًا حَسَنًا.
“Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah kemudian mereka
dibunuh atau mati, maka Allah pasti akan memberikan mereka rezeki yang baik”.
4.
Dalam
perspektif historis, hijrah Nabi saw., pada hakekatnya, merupakan langkah
strategis untuk membela dan menegakkan nilai-nilai tauhid kepada Allah, serta
membersihkan dunia dari kejahatan dan kezaliman, sekaligus sebagai awal kebangkitan
Islam dan kaum Muslimin.
5.
Hijraturrasul
mendidik manusia, bahwa untuk mencapai suatu kesuksesan yang besar, memerlukan
pengorbanan yang besar pula, serta menjelaskan bahwa esensi hidup dalam
perspektif al-Qur’an, bukan semata menarik dan menghembuskan nafas, tetapi
untuk membela dan mengembangkan agama Allah, yang diawali dengan sikap
optimis dan kerja keras kemudian tawakkal.
6.
Makna
hakiki kebangkitan Islam dan umat Islam sesungguhnya belum dapat dipahami oleh
sebagian besar umat Islam. Hal ini terjadi karena umat Islam belum menyadari
makna keberagamaan, sebagai satu-satunya jalan menuju kebahagiaan hidup di
dunia dan di akhirat.
7.
Sesungguhnya
penguasaan ipteks hanya sebagai alat untuk memudahkan kehidupan umat manusia.
Dan kekayaan hanya merupakan alat untuk kemudahan hidup manusia. Uang pada
hakekatnya hanya merupakan alat tukar dalam sistem perekonomian. Satu-satunya
cara mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan juga di akhirat hanya melalui
agama.
8.
Kesadaran
keberagamaan atau religiositas seperti di atas tentu perlu bagi umat Islam.
Karena semakin banyak agenda keberhasilan umat Islam di masa depan, terutama
dalam menguasai ipteks dan perekonomian, maka eksistensi Islam semakin
disegani. Meskipun Islam pernah mengalami kejayaan di abad ke-19 s,d, abad
ke-11 Masehi, membuktikan bahwa Islam dan umat Islam sangat terbuka bagi
kemajuan peradaban dunia.
Akhirnya, kesadaran
keberagamaan atau religiositas seperti di atas tentu perlu bagi umat Islam.
Karena semakin banyak agenda keberhasilan umat Islam di masa depan, terutama
dalam menguasai iptek dan perekonomian, maka eksistensi Islam akan semakin
disegani. Secara historis, Islam pernah mengalami kejayaan di abad ke-9 s.d.
abad ke-11 Masehi, membuktikan bahwa Islam dan umat Islam sangat terbuka bagi
kemajuan peradaban dunia. Tahun Baru Islam kali ini hendaknya dapat menjadi
momentum dan renungan, sudah seberapa jauh Islam dan umat Islam dapat
memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi umat manusia? Sudahkah lapisan
masyarakat menengah Islam memiliki kepedulian terhadap lapisan bawah umat yang
fakir dan tertindas? Mengapa Nabi Muhammad saw. memilih non-Muslim sebagai
pemandunya ketika hijrah? Mengapa beliau berkeras untuk membayar upah
kendaraan, yang dihadiahkan oleh sahabatnya? Mengapa beliau begitu tenang,
ketika musuh berada di mulut guwa, dan begitu gusar ketika berkecamuknya
peperangan Badar? Itu dan lainnya, bila dianalisis dapat memberi
jawaban-jawaban tentang hakekat ajaran agama sekaligus menunjang suksesnya
tugas kekhalifahan manusia sebagai khalifatullah fi al-‘ardh (tugas
pembangun peradaban dunia ini). Pertanyaan-pertanyaan itu dan lainnya bila
dianalisis dapat memberi jawaban-jawaban tentang hakekat ajaran agama sekaligus
menunjang tugas manusia sebagai pembangun dunia ini. Wallahu a’lam.
_________________________________
Ditulis oleh:
Prof. Dr. H. Mardan, M.Ag.
UIN Alauddin Makasar