Terbit

Terbenam

icon

Penghantar Kajian Tafsir Tartibun Nuzul

img
Tafsir
28 Februari 2024
Penghantar Kajian Tafsir Tartibun Nuzul

Muqaddimah

 

Ada satu perumpamaan yang menarik yang tertera dalam kitab Ittihaf Saadatil-Muttaqqiin karya al-'Allamah  Muhammad ibn Muhammad al-Husaini al-Murtadha al-Zabidi rahimahullaahu ta’ala, kitab tebal yang mensyarah kitab Ihyaa’ ‘uluumiddin karya Imam Hujjah al-Islam Abu Hamid al-Ghazali tentang Al-Qur’an yang dibaca namun tidak difahami dan diamalkan isinya,

 

مِثَالُ عَبْدٍ كَتَبَ إِلَيْهِ مَالِكُهُ كِتَابًا وَأَشَارَعَلَيْهِ فِيْهِ بِالْأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِى فَلَمْ يَصْرِفْ عِنَايَتَهُ إِلَى فَهْمِهِ وَالْعَمَلِ بِهِ وَلكِنِ اقْتَصَرَ عَلى حِفْظِهِ فَقَطْ فَهُوَ مُسْتَمِرٌّ عَلى خِلَافِ مَا أَمَرَهُ بِهِ مَوْلَاهُ, اَلَا أَنَّهُ مُكَرِّرٌ لِلْكِتَابِ بِنَغْمَتِهِ وَصَوْتِهِ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ فَهُوَ مُسْتَحِقٌّ لِلْعُقُوْبَةِ.

Seperti perumpamaan surat yang dikirim seorang raja pada pembantunya. Di dalamnya terdapat beberapa perintah dan larangan. Namun sang pembantu tidak berusaha untuk memahami dan mengamalkannya. Ia mencukupkan diri dengan menghafalnya, namun di sisi lain, ia terus menerus menyelisihi apa yang diperintahkan oleh tuannya. Ingatlah, meskipun ia mengulang-ulang membacanya dengan keindahan suaranya, 100 kali setiap harinya, ia tetap berhak mendapat adzab Allah. (Ittihafus-sadatil-Muttaqin bi syarh ihya ulumiddin, 8/474)

 

Perumpamaan ini menggelitik setiap kita agar tidak mencukupkan diri dengan membaca dan menghafal Al-Qur’an saja. Membaca dan menghafal Al-Qur’an memiliki banyak keutamaan, namun tidak berhenti sampai di situ, karena Allah ta’ala menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk, dan seseorang tidak mungkin bisa mengambil petunjuk Al-Qur’an tanpa memahaminya. Hanya membaca dan menghafal Al-Qur’an namun tidak mentadabburi kandungannya adalah perbuatan tercela,

 

أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

“Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur'an ataukah hati mereka sudah terkunci?” (QS Muhammad (47) : 24)

 

Oleh karena itu, Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata,

 

رُبَّ تَالٍ لِلْقُرْآنِ وَالْقُرْآنُ يَلْعَنُه

“Kadangkala ada orang yang membaca Alqur’an sedangkan Alqur’an itu sendiri melaknatnya.” (Al-Mursyidul Amin hal. 65)

 

Berkata Al-Imam Al-Munawi rahimahullaahu ta’ala

 

أي يسلقونه بألسنتهم من غير دبر لمعانيه ولا تأمل في أحكامه .بل يمر على ألسنتهم كما يمر اللبن المشروب عليها بسرعة.

Bahwa mereka akan membaca al-quran dengan lisan-lisan mereka tanpa menghayati makna-makna yang terkandung di dalamnya. Tidak pula memperhatikan hukum-hukum yang terdapat dalam al-quran. Bacaan al-quran tersebut hanya lewat di lisan-lisan mereka seperti lewatnya air susu yang diminum. (Faidhul Qadir : 4 /155)

 

Kondisi ini pernah diprediksi oleh Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma menceritakan,

 

أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالْجِعْرَانَةِ مُنْصَرَفَهُ مِنْ حُنَيْنٍ وَفِى ثَوْبِ بِلاَلٍ فِضَّةٌ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْبِضُ مِنْهَا يُعْطِى النَّاسَ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ اعْدِلْ. قَالَ « وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ لَقَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ ». فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضى الله عنه دَعْنِى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَقْتُلَ هَذَا الْمُنَافِقَ. فَقَالَ « مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ يَتَحَدَّثَ النَّاسُ أَنِّى أَقْتُلُ أَصْحَابِى إِنَّ هَذَا وَأَصْحَابَهُ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْهُ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ »

“Ada seorang lelaki yang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ji’ranah -nama tempat- sepulangnya beliau dari -peperangan- Hunain, ketika itu di atas kain Bilal terdapat perak yang diambil sedikit demi sedikit oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibagikan kepada orang-orang. Kemudian lelaki itu mengatakan, ‘Hai Muhammad, berbuat adillah!’. Maka Nabi menjawab, ‘Celaka kamu! Lalu siapa lagi yang mampu berbuat adil jika aku tidak berbuat adil. Sungguh kamu pasti telah celaka dan merugi jika aku tidak berbuat adil.’ Maka Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu berkata, ‘Biarkanlah saya wahai Rasulullah untuk menghabisi orang munafiq ini.’ Maka beliau bersabda, ‘Aku berlindung kepada Allah, jangan sampai orang-orang nanti mengatakan bahwa aku telah membunuh para sahabatku sendiri. Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya adalah suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka. Mereka keluar darinya sebagaimana keluarnya anak panah yang menembus sasaran bidiknya.'” (HR Muslim)

 

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ungkapan ‘mereka suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggrorokan mereka’ memiliki dua penafsiran. Pertama, dimaknakan bahwa hati mereka tidak memahami isinya dan tidak bisa memetik manfaat darinya selain membaca saja. Kedua, dimaknakan amal dan bacaan mereka tidak bisa diterima oleh Allah (lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/389] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)

 

Mengapa Tafsir Tartibun-Nuzul?

 

Tafsir tartib Nuzul bukan berarti mempertanyakan susunan al-Qur’an dengan tartib mushaf yang sudah tauqifi. Melainkan suatu metode yang menurut Izzat Darwazah adalah metode terbaik (thariqat al-mutsla) untuk memahami al-Qur’an al-karim. Semua sepakat bahwa tilawah al-Qur’an diharuskan berurutan berdasarkan tartib mushaf, Adapun memahaminya, mengungkap maknanya adalah terbuka untuk digali dari sisi manapun. (Muqoddimah al-Tafsir al-Hadis)

 

Mengkaji Tafsir Tartibun-Nuzul, artinya kita membaca, menganalisa, merasakan, dan mengikuti tahap demi tahap penggemblengan khairul-basyar, manusia terbaik sepanjang zaman, Nabiyullaah Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ada satu ungkapan dalam bahasa arab,

 

فَتَشَبَّهُوْا بِهِمْ إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثْلَهُمْ فَإِنَّ التَّشَبُّهَ بِالْكِرَامِ فَلَاحٌ

Serupakanlah diri kalian dengan mereka, jika kalian tidak seperti mereka. Karena penyerupaan kepada kemuliaan, maka kemuliaan itu untuknya juga. (www.so7ba.jeun.fr )

 

Mengkaji Tartibun Nuzul, artinya menyaksikan selangkah demi selangkah terwujudnya Darul-Islam. Ibarat seorang chef, Rasulullaah bukan hanya menyajikan hasil karya yang dikenang sepanjang zaman, namun juga dengan bimbingan wahyu, mengajarkan langkah-langkah mewujudkan Darul Islam.

 

Mengkaji Tafsir Tartibun-Nuzul, bukan hanya sekedar membangun keterikatan emosional sebagai bagian dari pelanjut cerita, penerus perjuangan, namun juga jadi inspirasi dan referensi dalam memperjuangkan tegaknya kalimatullaah, menjemput janji kemenangan yang disampaikan insan pilihan, 14 abad yang silam.

 

لاَ يَبْقَى عَلَى ظَهْرِ اْلأَرْضِ بَيْتُ مَدَرٍ وَلاَ وَبَرٍ إِلاَّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ كَلِمَةَ الْإِسْلاَمِ بِعِزِّ عَزِيزٍ أَوْ ذُلِّ ذَلِيلٍ إِمَّا يُعِزُّهُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَيَجْعَلُهُمْ مِنْ أَهْلِهَا أَوْ يُذِلُّهُمْ فَيَدِينُوْنَ لَهَا

“Tidak akan tersisa di muka bumi ini satu rumah pun baik di kota atau di kampung kecuali Allah akan memasukkan ajaran Islam di dalamnya dengan kemuliaan yang dimuliakan atau kehinaan yang dihinakan. Allah akan memuliakan mereka sehingga mereka menjadi pemeluknya atau sebaliknya menghinakan mereka sehingga mereka tunduk kepada Islam”. (HR Ahmad no. 22697)

 

Allah ta’ala menurunkan Al-Qur’an ini secara bertahap, untuk meneguhkan hati para pejuang di jalan-Nya.

 

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلاً

“Dan Al-Qur’an (Kami turunkan) berangsur-angsur agar Engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap.” (QS Al-Isra’: 106)

 

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلاً

“Dan orang-orang kafir berkata, ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?’ Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan dan benar).” (QS al-Furqan: 32).

 

Ibnu Katsir rahimahullaahu ta’ala menjelaskan,

 

بِأَنَّهُ إِنَّمَا أَنْزَلَ مَنْجَمًا فِي ثَلَاثٍ وَعِشْرِيْنَ سَنَةً بِحَسْبِ الْوَقَائِعِ وَالْحَوَادِثِ ، وَمَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنَ الْأَحْكَامِ لِتَثْبِيْتِ قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ بِهِ

Sesungguhnya Dia menurunkan Al-Qur'an secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun menurut peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang berkaitan dengannya serta menurut hukum yang diperlukan, tiada lain untuk meneguhkan hati orang-orang mukmin terhadapnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/14)

 

Ada beberapa ulama yang mengkaji tafsir dengan pendekatan Tartibun-Nuzul. Diantaranya, empat tafsir ini, yaitu Bayan al-Ma’ani karya Abdul Qadir Mulla Huwaisy (Irak: 1880-1978), Al-Tafsir al-Hadits karya Muhammad ‘Izzat Darwazah (Suriah: 1887-1984), Ma’arij al-Tafakkur karya Abdurrahman Hasan Habanka al-Maidani (Suriah: 1927-2004), dan Fahm al-Qur`an al-Hakim karya Muhammad ‘Abid al-Jabiri (Maroko: 1935-2010).

 

Semoga kajian Tafsir Tartibun-Nuzul ini menjadi pemantik ruhul jihad setiap mujahid, meneguhkan langkah perjuangan, mengembalikan kedaulatan Islam di bumi Indonesia. (Red)

quote
Dan katakanlah: "Ya Rabb, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."

- QS. Thaha: 114

Komentar

Tuliskan komentar