Muqaddimah
Ada satu perumpamaan yang
menarik yang tertera dalam kitab Ittihaf Saadatil-Muttaqqiin karya
al-'Allamah Muhammad ibn Muhammad al-Husaini al-Murtadha
al-Zabidi rahimahullaahu ta’ala, kitab tebal yang mensyarah kitab Ihyaa’
‘uluumiddin karya Imam Hujjah al-Islam Abu Hamid al-Ghazali tentang
Al-Qur’an yang dibaca namun tidak difahami dan diamalkan isinya,
مِثَالُ عَبْدٍ
كَتَبَ إِلَيْهِ مَالِكُهُ كِتَابًا وَأَشَارَعَلَيْهِ فِيْهِ بِالْأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِى
فَلَمْ يَصْرِفْ عِنَايَتَهُ إِلَى فَهْمِهِ وَالْعَمَلِ بِهِ وَلكِنِ اقْتَصَرَ عَلى
حِفْظِهِ فَقَطْ فَهُوَ مُسْتَمِرٌّ عَلى خِلَافِ مَا أَمَرَهُ بِهِ مَوْلَاهُ, اَلَا
أَنَّهُ مُكَرِّرٌ لِلْكِتَابِ بِنَغْمَتِهِ وَصَوْتِهِ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ
فَهُوَ مُسْتَحِقٌّ لِلْعُقُوْبَةِ.
Seperti perumpamaan surat yang dikirim seorang raja pada
pembantunya. Di dalamnya terdapat beberapa perintah dan larangan. Namun sang
pembantu tidak berusaha untuk memahami dan mengamalkannya. Ia mencukupkan diri
dengan menghafalnya, namun di sisi lain, ia terus menerus menyelisihi apa yang
diperintahkan oleh tuannya. Ingatlah, meskipun ia mengulang-ulang membacanya
dengan keindahan suaranya, 100 kali setiap harinya, ia tetap berhak mendapat
adzab Allah. (Ittihafus-sadatil-Muttaqin bi syarh ihya
ulumiddin, 8/474)
Perumpamaan ini menggelitik
setiap kita agar tidak mencukupkan diri dengan membaca dan menghafal Al-Qur’an
saja. Membaca dan menghafal Al-Qur’an memiliki banyak keutamaan, namun tidak berhenti
sampai di situ, karena Allah ta’ala menurunkan Al-Qur’an sebagai
petunjuk, dan seseorang tidak mungkin bisa mengambil petunjuk Al-Qur’an tanpa
memahaminya. Hanya membaca dan menghafal Al-Qur’an namun tidak mentadabburi
kandungannya adalah perbuatan tercela,
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ
الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur'an ataukah hati mereka sudah
terkunci?” (QS Muhammad (47) : 24)
Oleh
karena itu, Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata,
رُبَّ تَالٍ لِلْقُرْآنِ وَالْقُرْآنُ يَلْعَنُه
“Kadangkala ada orang yang
membaca Alqur’an sedangkan Alqur’an itu sendiri melaknatnya.” (Al-Mursyidul
Amin hal. 65)
Berkata Al-Imam Al-Munawi rahimahullaahu
ta’ala
أي
يسلقونه بألسنتهم من غير دبر لمعانيه ولا تأمل في أحكامه
.بل يمر على ألسنتهم كما يمر اللبن المشروب عليها بسرعة.
Bahwa mereka akan membaca
al-quran dengan lisan-lisan mereka tanpa menghayati makna-makna yang terkandung
di dalamnya. Tidak pula memperhatikan hukum-hukum yang terdapat dalam al-quran.
Bacaan al-quran tersebut hanya lewat di lisan-lisan mereka seperti lewatnya air
susu yang diminum. (Faidhul Qadir : 4 /155)
Kondisi ini pernah diprediksi
oleh Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma menceritakan,
أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- بِالْجِعْرَانَةِ مُنْصَرَفَهُ مِنْ حُنَيْنٍ وَفِى ثَوْبِ
بِلاَلٍ فِضَّةٌ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْبِضُ مِنْهَا يُعْطِى
النَّاسَ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ اعْدِلْ. قَالَ « وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا
لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ لَقَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ ».
فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضى الله عنه دَعْنِى يَا رَسُولَ اللَّهِ
فَأَقْتُلَ هَذَا الْمُنَافِقَ. فَقَالَ « مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ يَتَحَدَّثَ النَّاسُ
أَنِّى أَقْتُلُ أَصْحَابِى إِنَّ هَذَا وَأَصْحَابَهُ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ
يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْهُ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ
الرَّمِيَّةِ »
Mengapa Tafsir Tartibun-Nuzul?
Tafsir tartib Nuzul bukan berarti
mempertanyakan susunan al-Qur’an dengan tartib mushaf yang sudah tauqifi.
Melainkan suatu metode yang menurut Izzat Darwazah adalah metode terbaik (thariqat
al-mutsla) untuk memahami al-Qur’an al-karim. Semua sepakat bahwa tilawah
al-Qur’an diharuskan berurutan berdasarkan tartib mushaf, Adapun memahaminya,
mengungkap maknanya adalah terbuka untuk digali dari sisi manapun. (Muqoddimah
al-Tafsir al-Hadis)
Mengkaji Tafsir Tartibun-Nuzul,
artinya kita membaca, menganalisa, merasakan, dan mengikuti tahap demi tahap
penggemblengan khairul-basyar, manusia terbaik sepanjang zaman, Nabiyullaah
Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ada satu ungkapan
dalam bahasa arab,
فَتَشَبَّهُوْا
بِهِمْ إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثْلَهُمْ فَإِنَّ التَّشَبُّهَ بِالْكِرَامِ
فَلَاحٌ
Serupakanlah
diri kalian dengan mereka, jika kalian tidak seperti mereka. Karena penyerupaan
kepada kemuliaan, maka kemuliaan itu untuknya juga. (www.so7ba.jeun.fr )
Mengkaji Tartibun Nuzul,
artinya menyaksikan selangkah demi selangkah terwujudnya Darul-Islam. Ibarat
seorang chef, Rasulullaah bukan hanya menyajikan hasil karya yang
dikenang sepanjang zaman, namun juga dengan bimbingan wahyu, mengajarkan
langkah-langkah mewujudkan Darul Islam.
Mengkaji Tafsir Tartibun-Nuzul,
bukan hanya sekedar membangun keterikatan emosional sebagai bagian dari
pelanjut cerita, penerus perjuangan, namun juga jadi inspirasi dan referensi
dalam memperjuangkan tegaknya kalimatullaah, menjemput janji kemenangan
yang disampaikan insan pilihan, 14 abad yang silam.
لاَ
يَبْقَى عَلَى ظَهْرِ اْلأَرْضِ بَيْتُ مَدَرٍ وَلاَ وَبَرٍ إِلاَّ أَدْخَلَهُ
اللَّهُ كَلِمَةَ الْإِسْلاَمِ بِعِزِّ عَزِيزٍ أَوْ ذُلِّ ذَلِيلٍ إِمَّا
يُعِزُّهُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَيَجْعَلُهُمْ مِنْ أَهْلِهَا أَوْ
يُذِلُّهُمْ فَيَدِينُوْنَ لَهَا
“Tidak akan tersisa di muka bumi ini satu
rumah pun baik di kota atau di kampung kecuali Allah akan memasukkan ajaran Islam di dalamnya dengan kemuliaan yang dimuliakan atau kehinaan
yang dihinakan. Allah akan memuliakan mereka sehingga mereka menjadi pemeluknya
atau sebaliknya menghinakan mereka sehingga mereka tunduk kepada Islam”. (HR Ahmad no. 22697)
Allah ta’ala menurunkan Al-Qur’an
ini secara bertahap, untuk meneguhkan hati para pejuang di jalan-Nya.
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ
وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلاً
“Dan Al-Qur’an
(Kami turunkan) berangsur-angsur agar Engkau (Muhammad) membacakannya kepada
manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap.” (QS Al-Isra’: 106)
وَقَالَ
الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً
كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلاً
“Dan
orang-orang kafir berkata, ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya
sekaligus?’ Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengannya dan
Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan dan benar).” (QS
al-Furqan: 32).
Ibnu Katsir rahimahullaahu
ta’ala menjelaskan,
بِأَنَّهُ
إِنَّمَا أَنْزَلَ مَنْجَمًا فِي ثَلَاثٍ وَعِشْرِيْنَ سَنَةً بِحَسْبِ الْوَقَائِعِ
وَالْحَوَادِثِ ، وَمَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنَ الْأَحْكَامِ لِتَثْبِيْتِ قُلُوْبِ
الْمُؤْمِنِيْنَ بِهِ
Sesungguhnya Dia
menurunkan Al-Qur'an secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun
menurut peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang berkaitan dengannya
serta menurut hukum yang diperlukan, tiada lain untuk meneguhkan hati
orang-orang mukmin terhadapnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/14)
Ada beberapa ulama yang
mengkaji tafsir dengan pendekatan Tartibun-Nuzul. Diantaranya, empat
tafsir ini, yaitu Bayan al-Ma’ani karya Abdul Qadir Mulla Huwaisy (Irak:
1880-1978), Al-Tafsir al-Hadits karya Muhammad ‘Izzat Darwazah (Suriah:
1887-1984), Ma’arij al-Tafakkur karya Abdurrahman Hasan Habanka al-Maidani
(Suriah: 1927-2004), dan Fahm al-Qur`an al-Hakim karya Muhammad ‘Abid al-Jabiri
(Maroko: 1935-2010).
Semoga kajian Tafsir Tartibun-Nuzul
ini menjadi pemantik ruhul jihad setiap mujahid, meneguhkan langkah
perjuangan, mengembalikan kedaulatan Islam di bumi Indonesia. (Red)

Komentar