Allah SWT berfirman:
سُبْحٰنَ
الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى
الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ
اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Mahasuci (Allah), yang
telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke
Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha
Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Al-Isrâ` [17] : 1)
Jika kita mencoba memahami
kandungan makna yang tersurat dalam ayat diatas bahwa pada dasarnya ayat itu
bukan hanya menceritakan tentang perjalanan & perjuangannya seorang nabi
Muhammad Saw, untuk mengetahui tabir perjalanan manusia dimasa lampau dan masa
yang akan datang dengan berbagai macam peristiwa yang terjadi yang dilakukan
oleh manusia ketika didunia.
Rekaman semua kejadian
dunia dialam akhirat tentang ganjaran & balasan bagi orang-orang beriman
yang beramal sholeh dan gambaran & balasan bagi orang-orang yang mengaku
beriman akan tetapi mendustakan serta gambaran & balasan orang-orang yang
menolak secara terang-terangan tidak mau diatur dengan aturan yang haq (Dienul
Islam).
Akan tetapi juga
merupakan sebuah gambaran yang menjelaskan proses perjalanannya setiap manusia
& generasi jaman untuk mencari jati dirinya untuk bisa menemukan tentang
siapa Tuhannya.
Maha Suci Allah yang telah
memperjalankan seorang hamba-Nya (بِعَبْدِه)
Kalimat isim pada lafadz
bi’abdihi ( بِعَبْدِهٖ ) jika dipisahkan
huruf b (ب ) sebagai istisna yaitu seorang seorang hamba yang hanya berharap dan
bergantung pengabdiannya kepada Dzat yang Maha Suci.
Dan lafadz kalimatnya
berubah kepada bentuk ashalnya yaitu ‘abdu ( عَبْد ) dalam bentuk
nakirah (umum) dengan tambahan H ( هٖ ) dhamir (kata
pengganti) dengan hukum mad shilah qashirah sebagai tanda bahwa lafadz ‘abdu
disana merupakan perpanjangan tangan Allah. Sehingga kalimat Isim Nakirah yang
dimaksud adalah maknanya bukan hanya dikhususkan kepada nabi Muhammad saja,
akan tetapi berlaku buat seluruh hamba-hamba Allah dimuka bumi.
Jika kalimat Isim nya
ma’rifat dengan tambahan alif lam pada lafadz ‘abdu ( عَبْد ) menjadi ( العبد ) berarti kalimat tersebut hanya dikhususkan untuk
seorang nabi Muhammad saja dan tidak berlaku buat seluruh hamba-hamba Allah
yang lainnya.
Proses perjalanan yang
dimaksudkan bukan hanya sekedar berpindahnya seorang hamba dari suatu tempat
ketempat yang dituju dalam kondisi yang sebenarnya sebagai sebuah mu’jizat
(peristiwa yang menakjubkan) yang hanya berlaku bagi nabi dan rasul saja.
Akan tetapi kalimat yang
dimaksud dalam ayat ini juga mengandung makna metafora (majaz) artinya memiliki
makna yang bukan sebenarnya.
Dengan demikian ada 3 hal
pokok utama manusia untuk melakukan perubahan ketika dia mencari jati dirinya
sebagai seorang hamba Allah yaitu: waktu, tempat dan keadaan.
Maha Suci Allah yang telah
memperjalankan seorang hamba-Nya diwaktu malam ( لَيْلًا ) dari Al-Masjidi Al-Haram ( الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ ) menuju Al-Masjidi Al-Aqsa ( الْمَسْجِدِ
الْاَقْصَا ).
Dengan makna majaz Malam ( لَيْلًا ) yang dimaksud adalah Kegelapan yang pada dasarnya manusia itu berada
dalam Kebodohan artinya belum mengerti mana yang salah ( الباطل) mana yang benar ( الحق).
Kebodohan yang dimaksud
bukan karena tidak berpengetahuan (intelektual) tetapi karena tidak memiliki
Akhlak Yang Mulia dalam mengenal dirinya (معرفة نفس ) dan Aqidah Yang
Benar dalam mengenal Tuhannya (معرفة الله ).
Ditambah pada saat itu
menggambarkan nabi Muhammad saw. tinggal dikota Mekah yang notabene beliau
berada dibawah kekuasaan Jahiliyah, dengan kondisi yang teraniaya dan
terpenjara dalam sebuah aturan yang bathil sehingga tidak bisa bebas melakukan
semua tugas & kewajibannya sebagai hamba Allah yang harus menjalankan
segala perintah dan larangan-Nya.
Kalimat Isim Ma’rifat pada
lafadz Al-Masjidi Al-Haram ( الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ) menunjukan bahwa kalimat itu khusus hanya satu-satunya masjid sebagai
tempat sujudnya hamba Allah yang berada dibumi mekah, bukan masjid dalam
pengertian secara umum yang sering kita gunakan untuk keperluan sholat ritual.
Oleh karena itu makna
masjid yang dimaksud adalah bumi mekah yang dijadikan tempat kekuasaannya
seorang Abu Jahal (bapaknya kebodohan), untuk mengelola (mengatur)
masyarakatnya agar bisa dikendalikan demi untuk mencapai kepentingan pribadi
dan golongannya.
Makna Al-Haram ( الْحَرَامِ ) artinya secara harfiah adalah yang dilarang dan secara makna artinya
yang disucikan, satu istilah tapi memiliki dua pengertian yang berbeda.
Secara Harfiah &
Maknanya arti Al-Masjidi Al-Haram ( الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ) adalah suatu tempat yang seharusnya dijaga dan dipelihara oleh seorang
penguasa (pemimpin) sebagai amanah dari Yang Maha Kuasa & Maha Memiliki
dengan baik dan benar sebagai Tempat Suci agar bisa bermanfaat buat semua
makhluk hidup.
Tetapi justru Bumi Mekah ( الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ) malah digunakan untuk
kepentingan pribadi dan dikotori dengan berbagai perbuatan dosa dan kemaksiatan
bahkan kemusyrikan karena mengaturnya dengan Hawa Nafsu bukan dengan Wahyu yang
Allah turunkan.
Oleh karena itu pada
dasarnya Allah ciptakan setiap lekuk bumi manapun itu adalah Masjid sebagai
tempat dan sarana untuk bersujud dan mengabdi kepada sang pencipta.
وَجُعِلَتْ لِىَ
الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِى أَدْرَكَتْهُ
الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ
Seluruh bumi dijadikan
sebagai Masjid dan untuk bersuci. Siapa saja dari umatku yang mendapati waktu
salat, maka salatlah di tempat tersebut”. (HR. Bukhari no. 438 dan Muslim no.
521)
الأَرْضُ
كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Seluruh bumi adalah
masjid, kecuali kuburan dan tempat pemandian”. (HR. Tirmidzi no. 317, Ibnu
Majah no. 745, Ad Darimi no. 1390, dan Ahmad 3: 83. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih)
Kemudian Kalimat Ma’rifat pada lafadz Al-Masjidi Al-Aqsa ( الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا ) adalah suatu tempat yang sangat jauh yang harus ditempuh dengan penuh kesabaran dan pengorbanan sebagai bukti keimanan yang benar dan sempurna untuk menuju tempat yang suci (Baitul Muqaddas). Suatu tempat yang akan mengantarkan seorang hamba dan para pengikutnya menuju tempat-tempat yang tinggi hingga menuju Tuhan-Nya untuk menerima sebuah penghargaan dan penghormatan sebagai mahligai kemuliaannya sebagai seorang Hamba Allah untuk menjalankan semua perintah serta larangan-Nya dengan sempurna hingga selamat menjadi seorang Muslim Sejati yang Terpimpin dibawah aturan Allah dan rasul-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ
مُسْلِمُونَ (١٠٢)
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ
اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ
كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ
إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (١٠٣)
“Wahai orang-orang yang
beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah
kamu mati kecuali dalam keadaan Muslimuun (muslim yang terpimpin - tafsir
Al-Jalalain).
Dan berpegangteguhlah kamu
semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, Lalu
Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi
bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu agar kamu mendapat Hidayah (petunjuk hidup)”. (QS. Al-‘Imran 3 : 102-103)
Ayat ini menjadi bukti
hasil dari hadiah yang teristimewa dalam perjalanan Isra Wa Al-Mi’raj adalah
perintah pertama dan utama yaitu SHOLAT (arti harfiah : menyatukan) sebagai
simbol Persatuan dalam Kepemimpinan, Tempat Suci, lengkap dengan segenap Aturan
yang Benar, antara Imam dan makmumnya, antara pemerintah dan masyarakatnya agar
bersatu (berjamaah) dalam kedamaian & kesejahteraan (Al-Islam) dibawah
ATURAN Allah sebagai syari’at-Nya.
Sehingga dengan sholat yang
dimaksud bukan hanya sekedar menjalankan ibadah ritual semata akan tetapi sholat
yang terintegrasi dalam sebuah tatanan (aturan) kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat dan bernegara yang akan mencegah segala perbuatan keji dan
mungkar. Baldatun thayyibun wa Rabbun ghafur. Sebuah negeri yang aman,
damai dan sejahtera serta berada dalam ridho serta ampunan Allah ‘Azza wa
Jalla.
“Maha Suci Allah yang telah
memperjalankan seorang hamba-Nya diwaktu malam ( لَيْلًا ) dari Al-Masjidi
Al-Haram ( الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ ) Al-Masjidi Al-Aqsa (الْمَسْجِدِ
الْاَقْصَا ). Yang telah
Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Akhir kalimat ayat tersebut
merupakan Penyempurna yang menjelaskan bagi siapapun yang mampu menjalani
proses perjalanan dalam mengarungi hidupnya terutama yang diamanahi sebagai seorang
pemimpin harus mampu merubah perjalanan “waktunya” dengan aturan yang benar.
Harus mampu merubah “tempatnya”
sebagai wilayah kekuasaannya agar menjadi Gemah Ripah Loh Jinawi
(masyarakat dan wilayah yang subur makmur). Toto Tentrem Kerto Raharjo (suatu wilayah
yang tertib, tentram, sejahtera, serta berkecukupan segala sesuatunya).
Dan juga mampu merubah
keadaan yang jahiliyah (kebodohan aqidah) menjadi tempat yang dirahmati Allah
SWT.
Dengan demikian jika semua proses itu bisa diperjuangkan maka jaminan adalah :
الذي باركنا
لنربه من اياتنا انه هو السمع العليم
Kami berkahi
sekelilingnya (seluruh bumi) untuk diperlihatkannya (sebagai cahaya
kebenaran) sebagai tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha
Mendengar, Maha Melihat.”
Dan makna sesungguhnya dari
peristiwa besar tentang sejarah isra’ mi’raj itu adalah sebagai
gambaran proses perjalanan anak manusia dalam rangka menuju Robb Yang Maha
Mulia lagi Maha Bijaksana.
(red).

Komentar