- Edisi 8 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 15-19
- Edisi 7 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 11-14
- Edisi 5 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 6-7 (Bagian 2)
- Israel Kembali Membom 2 (dua) sekolah di Gaza. 80% Korban adalah Anak-anak
- Ibrah dari Dua Momen Bersejarah di Bulan Dzulhijjah
- Sayyidul Istighfar
- Karena Tak Miliki Visa Haji, Sebanyak 24 Jamaah Asal Indonesia Ditangkap Polisi Saudi
- Edisi 6 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 8-10
- Edisi 4 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 6-7 (Bagian 1)
- Raudhah, Taman dari Taman Surga di Masjid Nabawi
Sejarah Masuknya Islam di Nusantara
Melacak sejarah masuknya Islam ke Indonesia
bukanlah urusan mudah. Tak banyak jejak yang bisa dilacak. Ada beberapa
pertanyaan awal yang bisa diajukan untuk menelusuri kedatangan Islam di Indonesia.
Beberapa pertanyaan itu adalah, darimana Islam datang? Siapa yang membawanya
dan kapan kedatangannya?
Ada beberapa teori yang hingga kini masih
sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual
Islam sendiri. Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke
Timur Jauh termasuk ke Nusantara. Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje
yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua
India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal
masuknya Islam di Nusantara.
Baca Lainnya :
Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises,
Snouck mengatakan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya
peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada
abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan
yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India.
Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama
kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama
Snouck Hurgronje yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu
alasannya adalah, karena Snouck dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam.
Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya.
Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah
Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini
berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat
Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang
dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah.
Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang
berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung
lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang dari
Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya.
Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah
Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera
Pasai.
Kedua teori di atas mendatang kritikan yang
cukup signifikan dari teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini
disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah
atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan
pada awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada
awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur rasyidin memerintah. Islam sudah
mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul
mukminin.
Bahkan sumber-sumber literatur Cina
menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab
Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini
diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan
membentuk komunitas-komunitas Muslim.
Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu
T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-o-rang Ta
Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah.
Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan
mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin.
Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’
menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali
berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa
kepemimpinan Utsman bin Affan.
Biasanya, para pengembara Arab ini tak hanya
berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Jauh,
termasuk Indonesia. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa punya kemampuan
mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah
sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Ini adalah
rute pelayaran paling panjang yang pernah ada sebelum abad 16.
Hal ini juga bisa dilacak dari catatan para
peziarah Budha Cina yang kerap kali menumpang kapal-kapal ekspedisi milik
orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 untuk pergi ke India. Bahkan pada
era yang lebih belakangan, pengembara Arab yang masyhur, Ibnu Bathutah mencatat
perjalanannya ke beberapa wilayah Nusantara. Tapi sayangnya, tak dijelaskan
dalam catatan Ibnu Bathutah daerah-daerah mana saja yang pernah ia kunjungi.
Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari
Timur Tengah yang datang ke wilayah Nusantara. Pada masa Dinasti Umayyah, ada
sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18
duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa
perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.
Tentu saja, tak hanya ke negeri Cina
perjalanan dilakukan. Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga
mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan
Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa
keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina
tanpa melawat terlebih dulu ke Sriwijaya.
Sebuah literatur kuno Arab yang berjudul
Aja’ib al Hind yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi pada tahun
1000 memberikan gambaran bahwa ada perkampungan-perkampungan Muslim yang terbangun
di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di
Timur Tengah terus berlanjut hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibn
Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra
dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung antara raja
Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah yang terkenal adil tersebut.
“Dari Raja di Raja [Malik al Amlak] yang
adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja; yang di
dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat
dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur
barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab
yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan
kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak,
tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya
seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya
tentang hukum-hukumnya,” demikian antara lain bunyi surat Raja Sriwijaya Sri
Indravarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis. Diperkirakan hubungan diplomatik
antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun 100 hijriah atau 718
masehi.
Tak dapat diketahui apakah selanjutnya Sri
Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya Dan
pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak baru Islam di Indonesia. Jika
awalnya Islam masuk memainkan peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini
telah berkembang menjadi hubungan politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini
pula Islam mengawali kiprahnya memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di
wilayah-wilayah Nusantara.
Pada awal abad ke-12, Sriwijaya mengalami
masalah serius yang berakibat pada kemunduran kerajaan. Kemunduran Sriwijaya
ini pula yang berpengaruh pada perkembangan Islam di Nusantara. Kemerosotan
ekonomi ini pula yang membuat Sriwijaya menaikkan upeti kepada kapal-kapal
asing yang memasuki wilayahnya. Dan hal ini mengubah arus perdagangan yang
telah berperan dalam penyebaran Islam.
Selain Sabaj atau Sribuza atau juga Sriwijaya
disebut-sebut telah dijamah oleh dakwah Islam, daerah-daerah lain di Pulau
Sumatera seperti Aceh dan Minangkabau menjadi lahan dakwah. Bahkan di
Minangkabau ada tambo yang mengisahkan tentang alam Minangkabau yang tercipta
dari Nur Muhammad. Ini adalah salah satu jejak Islam yang berakar sejak mula
masuk ke Nusantara.
Di saat-saat itulah, Islam telah memainkan
peran penting di ujung Pulau Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai menjadi kerajaan
Islam pertama yang dikenal dalam sejarah. Namun ada pendapat lain dari Prof.
Ali Hasjmy dalam makalahnya pada Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam
di Aceh yang digelar pada tahun 1978. Menurut Ali Hasjmy, kerajaan Islam
pertama adalah Kerajaan Perlak.
Masih banyak perdebatan memang, tentang hal
ini. Tapi apapun, pada periode inilah Islam telah memegang peranan yang
signifikan dalam sebuah kekuasaan. Pada periode ini pula hubungan antara Aceh
dan kilafah Islam di Arab kian erat.
Selain pada pedagang, sebetulnya Islam juga
didakwahkan oleh para ulama yang memang berniat datang dan mengajarkan ajaran
tauhid. Tidak saja para ulama dan pedagang yang datang ke Indonesia, tapi
orang-orang Indonesia sendiri banyak pula yang hendak mendalami Islam dan
datang langsung ke sumbernya, di Makkah atau Madinah. Kapal-kapal dan ekspedisi
dari Aceh, terus berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke-16. Bahkan pada
tahun 974 hijriah atau 1566 masehi dilaporkan, ada lima kapal dari Kerajaan
Asyi (Aceh) yang berlabuh di bandar pelabuhan Jeddah.
Ukhuwah yang erat antara Aceh dan
kekhalifahan Islam itu pula yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Makkah.
Puncak hubungan baik antara Aceh dan pemerintahan Islam terjadi pada masa
Khalifah Utsmaniyah. Tidak saja dalam hubungan dagang dan keagamaan, tapi juga
hubungan politik dan militer telah dibangun pada masa ini. Hubungan ini pula
yang membuat angkatan perang Utsmani membantu mengusir Portugis dari pantai
Pasai yang dikuasai sejak tahun 1521. Bahkan, pada tahun-tahun sebelumnya
Portugis juga sempat digemparkan dengan kabar pemerintahan Utsmani yang akan
mengirim angkatan perangnya untuk membebaskan Kerajaan Islam Malaka dari
cengkeraman penjajah. Pemerintahan Utsmani juga pernah membantu mengusir Parangi
(Portugis) dari perairan yang akan dilalui Muslim Aceh yang hendak menunaikan
ibadah haji di tanah suci.
Selain di Pulau Sumatera, dakwah Islam juga
dilakukan dalam waktu yang bersamaan di Pulau Jawa. Prof. Hamka dalam Sejarah
Umat Islam mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 masehi duta dari
orang-orang Ta Shih (Arab) untuk Cina yang tak lain adalah sahabat Rasulullah
sendiri Muawiyah bin Abu Sofyan, diam-diam meneruskan perjalanan hingga ke
Pulau Jawa. Muawiyah yang juga pendiri Daulat Umayyah ini menyamar sebagai
pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa kala itu. Ekspedisi ini mendatangi
Kerajaan Kalingga dan melakukan pengamatan. Maka, bisa dibilang Islam merambah
tanah Jawa pada abad awal perhitungan hijriah.
Jika demikian, maka tak heran pula jika tanah
Jawa menjadi kekuatan Islam yang cukup besar dengan Kerajaan Giri, Demak,
Pajang, Mataram, bahkan hingga Banten dan Cirebon. Proses dakwah yang panjang,
yang salah satunya dilakukan oleh Wali Songo atau Sembilan Wali adalah
rangkaian kerja sejak kegiatan observasi yang pernah dilakukan oleh sahabat
Muawiyah bin Abu Sofyan.
Peranan Wali Songo dalam perjalanan
Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa sangatlah tidak bisa dipisahkan. Jika boleh
disebut, merekalah yang menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat dimana akan
dibangun pemerintahan Islam yang berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah
Jawa yang paling terkenal memang adalah Kerajaan Demak. Namun, keberadaan Giri
tak bisa dilepaskan dari sejarah kekuasaan Islam tanah Jawa.
Sebelum Demak berdiri, Raden Paku yang
berjuluk Sunan Giri atau yang nama aslinya Maulana Ainul Yaqin, telah membangun
wilayah tersendiri di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Wilayah ini dibangun
menjadi sebuah kerajaan agama dan juga pusat pengkaderan dakwah. Dari wilayah
Giri ini pula dihasilkan pendakwah-pendakwah yang kelah dikirim ke Nusatenggara
dan wilayah Timur Indonesia lainnya.
Giri berkembang dan menjadi pusat keagamaan
di wilayah Jawa Timur. Bahkan, Buya Hamka menyebutkan, saking besarnya pengaruh
kekuatan agama yang dihasilkan Giri, Majapahit yang kala itu menguasai Jawa tak
punya kuasa untuk menghapus kekuatan Giri. Dalam perjalanannya, setelah
melemahnya Majapahit, berdirilah Kerajaan Demak. Lalu bersambung dengan Pajang,
kemudian jatuh ke Mataram.
Meski kerajaan dan kekuatan baru Islam
tumbuh, Giri tetap memainkan peranannya tersendiri. Sampai ketika Mataram
dianggap sudah tak lagi menjalankan ajaran-ajaran Islam pada pemerintahan
Sultan Agung, Giri pun mengambil sikap dan keputusan. Giri mendukung kekuatan Bupati
Surabaya untuk melakukan pemberontakan pada Mataram.
Meski akhirnya kekuatan Islam melemah saat
kedatangan dan mengguritanya kekuasaan penjajah Belanda, kerajaan dan
tokoh-tokoh Islam tanah Jawa memberikan sumbangsih yang besar pada perjuangan.
Ajaran Islam yang salah satunya mengupas makna dan semangat jihad telah
menorehkan tinta emas dalam perjuangan Indonesia melawan penjajah. Tak hanya di
Jawa dan Sumatera, tapi di seluruh wilayah Nusantara.
Muslim Indonesia mengantongi sejarah yang
panjang dan besar. Sejarah itu pula yang mengantar kita saat ini menjadi sebuah
negeri Muslim terbesar di dunia. Sebuah sejarah gemilang yang pernah diukir
para pendahulu, tak selayaknya tenggelam begitu saja. Kembalikan izzah Muslim
Indonesia sebagai Muslim pejuang. Tegakkan kembali kebanggaan Muslim Indonesia
sebagai Muslim bijak, dalam dan sabar.
Kita adalah rangkaian mata rantai dari
generasi-generasi tangguh dan tahan uji. Maka sekali lagi, tekanan dari luar,
pengkhianatan dari dalam, dan kesepian dalam berjuang tak seharusnya membuat
kita lemah. Karena kita adalah orang-orang dengan sejarah besar. Karena kita
mempunyai tugas mengembalikan sejarah yang besar. Wallahu a’lam bishowwab.