Edisi 8 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 15-19

By Redaksi 06 Sep 2024, 14:37:39 WIB Tafsir
Edisi 8 Kajian Tafsir Tartibun Nuzul | Quran Surat Al Alaq Ayat 15-19

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

كَلَّا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعَنْ بِالنَّاصِيَةِ. نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ. فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ. سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ. كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ.

Baca Lainnya :

“Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya. (Yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah. Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Rabbmu).” (QS Al ‘Alaq: 15-19)

 

Penjelasan

Di bagian akhir surat Al-‘Alaq ini, Allah ta’ala menyampaikan ancaman terhadap Abu Jahal,

 

كَلَّا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعَنْ بِالنَّاصِيَةِ. نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ.

 Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya. (Yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.

 

Syekh Musthafa Al-Maraghi rahimahullaahu ta’ala berkata:

 

أَلَا إِنَّ تِلْكَ النَّاصِيَةَ لَكَاذِبَةٌ لِغُرُوْرِهَا بِقُوَّتِهَا، مَعَ أَنَّهَا فِى قَبْضَةِ خَالِقِهَا، فَهِيَ تَزْعَمُ مَا لَاحَقِيْقَةَ لَهُ، وَإِنَّهَا لَخَاطِئَةٌ، لِأَنَّهَا طَغَتْ وَتَجَاوَزَتْ حَدَّهَا، وَعَتَتْ عَنْ أَمْرِ رَبِّهَا. وَنِسْبَةُ الْكَذِبِ وَالْخَطِيْئَةِ إِلَى النَّاصِيَةِ، وَالْكَاذِبُ وَالْمُخْطِئُ صَاحِبُهَا، مِنْ قَبْلِ أَنَّهَا مَصْدَرُ الْغُرُوْرِ وَالْكِبْرِيَاءِ

"Ingat, ubun-ubun itu sungguh mendustakan dengan kecongkakan sebab kekuatannya padahal ubun-ubun tersebut dalam gengaman penciptanya. Ia menduga itu sesuatu yang tidak nyata. Ubun-ubun itu sungguh telah salah karena ia berlaku zalim dan melampui batas dan mencela perintah Tuhannya."  Terakhir, beliau menjelaskan terkait penisbatan kedustaan dan kesalahan pada ubun-ubun (nāṣiyah), padahal yang berdusta dan bersalah adalah orangnya. Menurut beliau, hal itu dilihat dari sisi ubun-ubun adalah sumber asal ketertipuan dan kecongkakan. (Tafsir Al-Maraghi, XXX/204)

 

Lebih jelas Syekh Ali as-Shabuni rahimahullaahu ta’ala mengatakan:

 

وَوَصَفَهَا بِالْكَذِبِ وَالْخَطِيْئَةُ مَجَازٌ، وَالْكَاذِبُ الْخَاطِىءُ فِي الْحَقِيْقَةِ صَاحِبُهَا، وَالْخَاطِىءُ الَّذِيْ يَفْعَلُ الذَّنْبَ مُتَعَمِّدًا، وَالْمُخْطِىءُ الَّذِيْ يَفْعَلُهُ بِدُوْنِ قَصْدٍ

"Allah penyifatan "nāṣiyah" dengan kedustaan dan kata khāṭi'ah merupakan bentuk majaz. Adapun pelaku kedustaan pada hakikatnya adalah pemilik ubun-ubun tersebut. Al-khati' adalah orang yang berbuat dosa dengan sengaja, sedangkan al-mukhti' adalah orang yang berbuat dosa dengan tanpa niatan." (Muhammad Ali As-Shabuni, Shafwatut Tafasir, [Kairo, Darus Shabuni: 1997 M/1417 H], juz III, halaman 556).

 

فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ. سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ. كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ.

Imam Jalaluddin As-Suyuti (wafat 911 H) dalam kitabnya Lubabun Nuqul menyebutkan riwayat terkait sababun nuzul ayat-ayat ini sebagai berikut:

 

وَأَخْرَجَ التِّرْمِذِي وَغَيْرُهُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْ فَجَاءَ أَبُوْ جَهْلٍ فَقَالَ أَلَمْ أَنْهَكَ عَنْ هذَا فَزَجَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُوْ جَهْلٍ إِنَّكَ لَتَعْلَمُ مَا بِهَا نَادٍ أَكْثَرُ مِنِّيْ فَأَنْزَلَ اللهُ فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ. قَالَ التِّرْمِذِي حَسَنٌ صَحِيْحٌ

"At-Tirmizi dan lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata: "Saat Nabi Muhammad sedang melaksanakan shalat Abu Jahal datang, kemudian ia  berkata: "Apakah aku belum melarangmu dari ini? Nabi pun mencegah Abu Jahal." Kemudian Abu Jahal berkata: "Engkau telah mengetahui tidak ada di lembah ini yang golonganganya melebihi golonganku".  Kemudian Allah memurunkan ayat: "Falyad‘u nādiyah. Sanad‘uz-zabāniyah". (Jalaluddin As-Suyuti, Lubabun Nuqul, [Bairut, Darul Kutub Ilmiyah], halaman 214).

  

Imam al-Baghawi (wafat 510 H) menafsirkan ayat: "Falyad‘u nādiyah",

 

أَيْ قَوْمَهُ وَعَشِيْرَتَهُ، أَيْ فَلْيَسْتَنْصِرْ بِهِمْ. سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ  جَمْعُ زِبْنِيٍّ مَأْخُوْذٌ مِنَ الزِّبْنِ وَهُوَ الدَّفْعُ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ :  يُرِيْدُ زَبَانِيَةً جَهَنَّمَ سُمُّوْا بِهَا لِأَنَّهُمْ يَدْفَعُوْنَ أَهْلَ النَّارِ إِلَيْهَا

Yakni kaumnya dan kerabatnya. Adapun maksudnya, maka hendaknya Abu Jahal meminta pertolongan mereka. Kemudian pada ayat berikutnya "Sanad‘uz-zabāniyah", beliau menjelaskan, kalimat "zabāniyah" merupakan bentuk jamak dari zibniyu (زِبْنِيٌّ)  terambil dari akar kata az-Zabni (الزِّبْنِ), yang bermakna memaksa. Ibnu Abbas berkata: "Yang dikehendaki dari "zabāniyah" adalah neraka jahanam, mereka (para Malaikat zabāniyah) dinamakan dengan demikian karena mereka memaksa ahli neraka untuk masuk ke dalamnya. (Muhammad Bin al-Farra' al-Baghawi, Tafsir Al-Baghawi, [Bairut, Dar-Ihya' At-Thurats: 1420 H], jus V halaman 282).  

Imam Fakhruddin Ar-Razi (wafat 606 H) menjelaskan terkait pengunaan huruf sin tanfis  dalam ayat "Sanad‘u" sebagai berikut:

 

وَهذِهِ السِّيْنُ لَيْسَتْ لِلشَّكِّ  فَإِنْ عَسَى مِنَ اللَّهِ وَاجِبُ الْوُقُوعِ، وَخُصُوصًا عِنْدَ بِشَارَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَنْ يَنْتَقِمَ لَهُ مِنْ عَدُوِّهِ، وَلَعَلَّ فَائِدَةَ السِّينِ هُوَ الْمُرَادُ مِنْ قَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: لَأَنْصُرَنَّكَ ولو بعد حين

"Sin ini bukan untuk keraguan. Sesunggubnya 'asa (harapan) dari Allah wajib terjadinya, khususnya kabar gembira untuk Rasulullah, yakni dengan Allah membalas musuh Nabi. Boleh jadi, faidah huruf sin adalah yang dikehendaki dari sabdanya (hadits qudsi): "Sungguh aku (Allah) akan menolongmu sekalipun setelah beberapa waktu." (Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Ihya’: 1420 H], juz XXXII, halaman 226).

 

Syekh Wahbah (wafat 2015 M) menafsirkan ayat terakhir:

 

كَلَّ، لا تُطِعْهُ، وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ أَيْ إِيَّاكَ يَامُحَمَّدُ أَنْ تُجَامِلَ هذَا الطَّاغِيَةَ فِيْ شَيْءٍ، أَوْ تُطِيْعَهُ فِيْمَا دَعَاكَ إِلَيْهِ مِنْ تَرْكِ الصَّلَاةِ كَمَا قَالَ : فَلا تُطِعِ الْمُكَذِّبِينَ (القلم ٦٨/ ٨)، وَصَلِّ للَّهِ غَيْرَ مُكْتَرِثٍ بِهِ، وَلَامُبَالٍ بِتَهْدِيْدِهِ أَوْ نَهْيِهِ، وَتَقَرَّبْ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ بِالطَّاعَةِ وَالْعِبَادَةِ، فَذلِكَ يُكْسِبُكَ قُوَّةً وَعِزَّةً، وَمَنَعَةً وَهِيْبَةً فِيْ قُلُوْبِ الْأَعْدَاءِ، وَالْعِبَادَةُ هِيَ الْحِصْنُ وَالْوِقَايَةُ، وَطَرِيْقُ النَّجَاةِ وَالنَّجَاحِ وَالنَّصْرِ.

"Kallā, lā tuṭi‘hu wasjud waqtarib", yakni, jangan sekali kali wahai Muhammad! Engkau bersikap baik dan ramah pada orang zalim ini (Abu Jahal) dalam segala sesuatu, atau engkau menaati apa yang ia pinta, yakni meninggalkan shalat. Shalatlah engkau Muhammad kepada Allah tanpa memperdulikannya. Jangan pedulikan ancaman dan larangannya. Mendekatkan dirilah kepada Allah dengan ketaatan dan ibadah. Karena hal itu akan menghasilkan kekuatan, kemuliaan dan keseganan di hati musuh. Ibadah adalah benteng, pelindung, jalan keselamatan, kesuksesan dan kemenangan.

 

وَقَوْلُهُ : كَلَّا رَدَعَ لِأبِيْ جَهْلٍ عَنْ قَبَائِحِ أَحْوَالِهِ وَأَفْعَالِهِ. وَالْمُرَادُ بِنَهْيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ طَاعَةِ أَبِيْ جَهْلٍ: قَطْعُ كُلِّ الصَّلَاتِ وَالْعَلَاقَاتِ مَعَهُ، وَالْمُرَادُ بِالْأَمْرِ بِالسُّجُوْدِ : أَنْ يَزْدَادَ غَيْظَ الْكَافِرِ. Kata "kalla" dalam ayat adalah untuk mencegah Abu Jahal dari kejelekan dan kejahatan perilakunya.   Adapun yang dimaksud melarang Nabi untuk menaati Abu Jahal adalah memutus segala hubungan, koneksi, dan relasi dengannya. Kemudian maksud perintah bersujud adalah supaya kemurkaan orang kafir semakin meningkat, dan juga sebagai bentuk ejekan dan meremehkannya. (At-Tafsir Munir, juz XXX, halaman 328).